III.
KAJIAN
TEORI
Nama Upacara Adat Rabu Pungkasan
Upacara yang ada di Wonokromo ini disebut Rebo
Pungkasan atau Rebo Wekasan karena upacara ini diadakan pada hari Rabu terakhir
pada bulan Sapar. Kata Sapar ini identik dengan ucapan kata arab syafar yang
berarti bulan Arab yang kedua. Selanjutaya kata syafar yang identik dengan kata
sapar ini menjadi salah sebuah nama bulan Jawa yang kedua dan jumlah bulan yang
12 itu (Tashadi dkk, 1992/1993). Dalam upacara ini sebagai puncak acaranya
adalah Selasa malam atau malem Rebo.
Biasanya seminggu sebelum puncak acara sudah diadakan
keramaian, yaitu pasar malam. Upacara ini dipilih hari Rabu, konon hari Rabu
terakhir dalam bulan Sapar itu merupakan hari pertermuan antara Sri Sultan HB I
dengan Kyai Faqih Usman. Berdasarkan hari itulah kemudian masyarakat
menamakannya dengan Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.
Tujuan
Upacara Adat Rabu Pungkasan
Tujuan
penyelenggaraan Upacara Rebo Wekasan adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, serta seorang kyai pertama di Wonokromo, yaitu Kyai
Faqih Usman atau Kyai Welit yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan
berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.
Mitos
yang terkandung didalam Upacara tersebut
Mitos
tentang Upacara Rebo Wekasan ada beberapa versi. Narnun inti dan upacara
tersebut ada kesamaan, yakni tentang kyai yang tinggal di Desa Wonokromo dan
mempunyai kelebihan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dapat
memberikan berkah untuk kesuksesan usaha dan tujuan-tujuan tertentu seperti
membuat tolak bala dan sebagainya.
1. VERSI 1
Upacara Adat
Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih
tetap dilestarikan. Pada zaman itu hidup seorang kyai yang bernama Mbah Faqih Usman.
Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau
Kyai Welit. Pada masa itu hidupnya mempunyai kelebihan ilmu yang sangat baik di
bidang agama maupun bidang
ketabiban.
ketabiban.
Pada waktu itu
masyarakat Wonokromo meyakini bahwa Mbah Kyai mampu mengobati penyakit dan
metode yang digunakan atau dipraktekkan Mbah Kyai dalam pengobatan adalah
dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an pada segelas air yang
kemudian diminumkan kepada pasiennya.
Seperti telah
dimuat dalam SKH KR 1983, bahwa pada saat itu di daerah Wonokromo dan sekitarnya
sedang terjadi pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Tak heran
jika kemudian masyarakat berbondong-bondong kepada Mbah Kyai untuk meminta obat
dan meminta berkah keselamatan. Ketenaran Mbah Kyai semakin tersebar sampai ke
pelosok daerah, sehingga yang datang berobatpun semakin bertambah banyak, maka
di sekitar masjid lalu dipadati para pedagang yang ingin mengais rejeki dan
para tamu. Suasana seperti itu dapat mengganggu akan keagungan masjid dan
sangat
merepotkan jamaah yang akan memasuki masjid untuk sholat. Pada suatu saat Mbah Kyai menemukan cara paling efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada umatnya, yakni menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah Timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.
merepotkan jamaah yang akan memasuki masjid untuk sholat. Pada suatu saat Mbah Kyai menemukan cara paling efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada umatnya, yakni menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah Timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.
Berkat
ketenaran Mbah Kyai Faqih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh Sri
Sultan HB 1. Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus
empat orang prajuritnya supaya membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu. Temyata ilmu Mbah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang diobati menjadi sembuh.
empat orang prajuritnya supaya membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu. Temyata ilmu Mbah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang diobati menjadi sembuh.
Sepeninggal Mbah
Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali
Gajahwon dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah
ketenteraman, sehingga setiap hari Rabu Wekasan masyarakat berbondong- bondong
untuk mencari berkah. Dengan mandi di pertempuran itu dimaksudkan manusia
bersuci atau selalu "wisuh" untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang
melekat di dalam tubuh. Namun masyarakat mengartikan lain, bahwa
"wisuh" atau mandi tadi diartikan lain, yakni mandi "
dengan "misuh" - berkata kotor. Menurut narasumber bahwa hal tersebut merupakan kepercayaan orang-orang yang datang dari luar daerah , sebab masyarakat Wonokromo sendiri tidak menggangap seperti itu, karena orang – orangnya beragama Islam yang kuat beragama dan menghindari syirik
dengan "misuh" - berkata kotor. Menurut narasumber bahwa hal tersebut merupakan kepercayaan orang-orang yang datang dari luar daerah , sebab masyarakat Wonokromo sendiri tidak menggangap seperti itu, karena orang – orangnya beragama Islam yang kuat beragama dan menghindari syirik
2. VERSI 2
Upacara Adat
Rebo Wekasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram dengan Sultan Agung yang
dulu pernah berkraton di Plered. Dalam buku Dewanto , disebutkan bahwa upacara
adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600 . Pada masa pemerintahannya Mataram
terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Melihat penderitaan rakyatnya, Sultan
Agung sangat prihatin yang kemudian Dia bersemedi di sebuah masjid di desa
Kerta.
Setelah
melakukan semedi, kemudian Sultan menerima wangsit atau ilham, bahwa wabah
penyakit tersebut bisa hilang dengan syarat mempunyai tolak bala. Dengan adanya
wangsit tersebut, kemudian Sultan Agung memanggil Kyai Sidik yang bertempat
tinggal di Desa Wonokromo untuk melaksanakan pembuatan tolak bala tersebut.
Setelah itu Kayai Sidik atau dikenal dengan nama Kyai Welit karena sudah
mendengar keampuhannya itu. Setelah itu Kyai Welit melaksanakan dawuh untuk
membuat tolak bala yang berwujud rajah dengan tulisan arab Bismillahirrahmanirrahim
sebanyak 124 baris.
Setelah tulisan
yang berwujud rajah itu selesai kemudian dibungkus dengan kain mori putih.
Selanjutnya rajah tersebut diserahkan kepada Sultan Agung serta memohon supaya
rajah tersebut dimasukkan kedalam air. Oleh Sultan Agung ajmat yang berupa
rajah itu dimasukkan ke dalam bokor kencana yang sudah berisi air. Air ajimat
itu kemudian diminumkan kepada orang sakit dan
menyembuhkan. Mulai saat itu kabarnya tersebar sampai desa–desa dan
menyebabkan orang sakit lalu berbondong bondong datang untk mendapatkan air dari ajimat tersebut.
menyembuhkan. Mulai saat itu kabarnya tersebar sampai desa–desa dan
menyebabkan orang sakit lalu berbondong bondong datang untk mendapatkan air dari ajimat tersebut.
Dengan banyak
peduduk yang berdatangn untuk minta air ajimat, dikuatirkan air tersebut tidak
mencukupi. Akhirnya Sultan Agung memerintahkan
kepada Kyai sidik agar air ajimat yang masih tersisa dalam bokor kencana tadi
dituangkan di tempuran kali Opak dan Gajah wong, dengan maksud supaya siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut. Berita itu cepat menyebar dan akhirnya masyarakat banyak yang mandi atau sekedar mencuci muka tempuran tersebut dengan harapan segala permasalahnnya dapat teratasi.
kepada Kyai sidik agar air ajimat yang masih tersisa dalam bokor kencana tadi
dituangkan di tempuran kali Opak dan Gajah wong, dengan maksud supaya siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut. Berita itu cepat menyebar dan akhirnya masyarakat banyak yang mandi atau sekedar mencuci muka tempuran tersebut dengan harapan segala permasalahnnya dapat teratasi.
Jalan atau Prosesi Upacara
Dalam menyambut
Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan di Desa Wonokromo, Kecamatan Plered,
biasanya seminggu sebelum puncak acara telah terdapat stan-stan permainan
seperti ombak banyu, trem, dremolem, dan sebagainya. Kemudian ada pasar malam
yang bentuknya seperti sekaten, yakni ada yang berjualan pakaian, makanan,
mainan dan sebagainya.
Tapi yang jelas
dalam berjualan makanan tersebut tentu dijumpai orang yang berjualan lemper.
Pada tahun 1990 tradisi Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan sudah
dikoordinir oleh panitia. Pada waktu itu sebagai puncak acara adalah kirab
lemper raksasa, yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter
dengan diameter 45 cm. Lemper tersebut kemudian diarak dari Masjid Wonokromo
menuju Balai Desa Wonokromo sejauh 2 km. Dalam kirab lemper ini diawali dengan
barisan prajurit Kraton Ngayogyakarta, menyusul kemudian lemper raksasa tiruan
yang diusung oleh empat orang, dan diikuti lemper yang berukuran sepanjang 40
cm dan 15 cm. Selanjutnya yang di belakangnya lagi adalah beberapa kelompok
kesenian setempat seperti Shalawatan, Kubrosiswo, Rodat,
dan sebagainya yang ikut memeriahkan Upacara Rebo Wekasan.
Selama lemper
raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, di kantor balai desa sudah
banyak para tamu undangan yang menunggu kehadiran lemper raksasa, lemper tersebut
langsung ditempatkan di panggung yang telah disediakan. Beberapa saat kemudian
upacara dibuka oleh ketua panitia, dilanjutkan dengan sambutan-sambutan para
pejabat di lingkungan pemerintahan yang diundang seperti camat, kepala dinas,
dan sebagainya.
Setelah itu
baru diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi. Lemper tadi lalu
dibagi-bagikan kepada tamu undangan yang hadir dan pengunjung. Kekurangannya
ditambah dengan lemper biasa yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutup
kekurangan. Demikian pula Gunungan yang dibawa tadi juga dipotong dan
dibagi-bagikan pada pengunjung bahkan untuk rebutan seperti yang terjadi dalam
acara sekaten di Kraton Ngayogyakarta itu. Setelah itu Upacara Rebo Wekasan
selesai, hanya saja untuk stan-stan seperti ombak banyu, para penjual dan
sebagainya itu tetap masih ada kira-kira seminggu lamanya. (http://www.tasteofjogja.org/contentdetil.php?kat=artk&id=MTIx&fle=Y29udGVudC5waHA=&lback=a2F0PWFydGsmYXJ0a2thdD01JmxiYWNrPSZwYWdlPTI)
Rebo wekasan (istilah masyarakat Jawa Timur), Rebo
Pungkasan (istilah Yogya dan Jawa Tengah), dan Rebo Kasan (istilah Sunda
Banten) adalah sebutan untuk hari rabu minggu keempat pada bulan safar. Rebo
(rabu) merupakan hari ketiga dalam sepekan. Sedangkan wekasan adalah istilah
yang berasal dari akar kata wekas yang berarti “pesan” atau “wanti-wanti”.
Kemudian istilah pungkasan berasal dari akar kata pungkas yang berarti “akhir”.
Yang terakhir, kasan adalah kata yang berasal dari kedua istilah diatas dengan
menghilangkan suku kata di depannya.
Menurut Sarjana Belanda, Pyper, dalam bukunya yang
berjudul “Beberapa Aspek Tentang Sejarah Islam Indonesia Abad ke-19”
menyebutkan sejak awal abad ke-17, tradisi ini sudah muncul di masyarakat
muslim, khususnya di Aceh, Sumatera Barat dan Jawa. Masyarakat Cirebon
misalnya, mempercayai bahwa ritual rebo pungkasan digagas oleh Sunan Kalijaga
dan disetujui oleh Sunan Gunung Jati, bermula dari peristiwa dieksekusi matinya
Syekh Lemah Abang/Syekh Siti Jenar di Masjid Agung Cirebon karena telah
menyebarkan paham sesat “wihdatul wujud” (bersatunya Allah dengan manusia).
Saat dieksekusi, dari mulut Syekh Siti Jenar keluar sumpah serapah yang tidak
mengenakkan. Kemudian untuk ngemong murid-murid Syekh Siti Jenar, dibuatlah
tradisi sedekah dengan membagikan kue apem kepada tetangga-tetangga.
Di beberapa tempat pula, misal dari kalangan Islam
Sufiyah atau di pondok-pondok pesantren Salaf pada saat memasuki bulan safar,
didapati mereka tengah sibuk melakukan tirakat dan bershadaqah hingga bulan
tersebut berlalu. Kemudian pada puncaknya yakni pada hari rabu akhir bulan
Safar, mereka melaksanakan shalat sunnah hajat untuk memohon kepada Allah agar
dijauhi dari bala’ bencana. Kemudian mereka melanjutkan agenda dengan melakukan
ritual mandi dan minum air barokah, atau air yang sudah dicampur dengan doa-doa
atau rajah-rajah tertentu. Walaupun banyak kalangan yang meyakini tradisi
seperti ini merupakan bid’ah yang tidak diajarkan oleh Nabi, tapi masih banyak
pula yang meneruskan dan melestarikannya.
IV.
PEMBAHASAN
Upacara Adat Rabu Pungkasan adalah tradisi yang dijaga
kelestariannya dan berkembang sampai saat ini di Desa Wonokromo, Pleret,
Bantul. Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan ini merupakan hari pertermuan antara
Sri Sultan HB I dengan Kyai Faqih Usman. Berdasar itulah masyarakat menamakan
Upacara Adat tersebut dengan Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.
“ Setau saya, tujuan
Upacara Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan ini sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Allah, ” kata Bu Hanafi, salah satu masyarakat di Desa Wonokromo.
“ Mitos yang terkandung dalam upacara ini, sebenarnya
sangat banyak. Hanya saja saya kurang tau semuanya, yang saya tau hanya satu,
yaitu tentang sebagian orang mengartikan salah kata “wisuh” menjadi kata
“misuh”. Yang kemudian menjadikan kesalahan pahaman, membuat sebagian orang itu
memahami kalau mandi di Kali itu dengan “misuh” bukan “wisuh”, ” tambahan dari
Bu Rofiqoh, salah satu tokoh masyarakat di Desa Wonokromo.
Jalan Prosesi Upacara Adat ini, dengan mengiring
lemper sampai ke balai desa pada malam puncak acara. Tetapi seminggu sebelum
itu, sudah ada kemeriahan di lapangan Desa Wonokromo, yaitu diadakannya pasar
malem. Setelah puncak acara selesai, pasar malem itu masih ada, walau hanya
beberapa yang berjualan, tetapi keramaian tidak berkurang.
V.
PENUTUP
KESIMPULAN
Indonesia kaya dengan budaya dan adat istiadat yang tidak bisa dipandang
sebelah mata. Banyak manfaat, tujuan, makna positif, dampak positif, dan lain
sebagainya dalam kebudayaan dan adat istiadat di Indonesia. Sebagai generasi
muda wajiblah mengembangkan, melestarikannya agar masa depan tidak merenggut
budaya-budaya warisan nenek moyang dan hilang ditelan zaman. Rebo Pungkasan
yang menjadi salah satu upacara adat masyarakat Wonokromo, Pleret,Bantul dalam realisasinya selalu mengalami
pengembangan-pengembangan agar masyarakat tidak jenuh dan bosan dengan
diadakannya Rebo Pungkasan setiap tahunnya.
SARAN
“ Majulah budaya Indonesia, Bangunkan generasimu. Lestarikan dan jagalah
kebudayaan yang berkembang di daerahmu.”