Senin, 12 Mei 2014

Upacara Adat Rabu Pungkasan

Diposting oleh Unknown di 07.52 0 komentar


                                                             III.      KAJIAN TEORI
Nama Upacara Adat Rabu Pungkasan
Upacara yang ada di Wonokromo ini disebut Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan karena upacara ini diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar. Kata Sapar ini identik dengan ucapan kata arab syafar yang berarti bulan Arab yang kedua. Selanjutaya kata syafar yang identik dengan kata sapar ini menjadi salah sebuah nama bulan Jawa yang kedua dan jumlah bulan yang 12 itu (Tashadi dkk, 1992/1993). Dalam upacara ini sebagai puncak acaranya adalah Selasa malam atau malem Rebo.
Biasanya seminggu sebelum puncak acara sudah diadakan keramaian, yaitu pasar malam. Upacara ini dipilih hari Rabu, konon hari Rabu terakhir dalam bulan Sapar itu merupakan hari pertermuan antara Sri Sultan HB I dengan Kyai Faqih Usman. Berdasarkan hari itulah kemudian masyarakat menamakannya dengan Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.
Tujuan Upacara Adat Rabu Pungkasan
Tujuan penyelenggaraan Upacara Rebo Wekasan adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta seorang kyai pertama di Wonokromo, yaitu Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.
Mitos yang terkandung didalam Upacara tersebut
Mitos tentang Upacara Rebo Wekasan ada beberapa versi. Narnun inti dan upacara tersebut ada kesamaan, yakni tentang kyai yang tinggal di Desa Wonokromo dan mempunyai kelebihan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha dan tujuan-tujuan tertentu seperti membuat tolak bala dan sebagainya.
1.  VERSI 1
Upacara Adat Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan. Pada zaman itu hidup seorang kyai yang bernama Mbah Faqih Usman. Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit. Pada masa itu hidupnya mempunyai kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang
ketabiban.
Pada waktu itu masyarakat Wonokromo meyakini bahwa Mbah Kyai mampu mengobati penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktekkan Mbah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya.
Seperti telah dimuat dalam SKH KR 1983, bahwa pada saat itu di daerah Wonokromo dan sekitarnya sedang terjadi pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Tak heran jika kemudian masyarakat berbondong-bondong kepada Mbah Kyai untuk meminta obat dan meminta berkah keselamatan. Ketenaran Mbah Kyai semakin tersebar sampai ke pelosok daerah, sehingga yang datang berobatpun semakin bertambah banyak, maka di sekitar masjid lalu dipadati para pedagang yang ingin mengais rejeki dan para tamu. Suasana seperti itu dapat mengganggu akan keagungan masjid dan sangat
merepotkan jamaah yang akan memasuki masjid untuk sholat. Pada suatu saat Mbah Kyai menemukan cara paling efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada umatnya, yakni menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah Timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.
Berkat ketenaran Mbah Kyai Faqih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh Sri Sultan HB 1. Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus
empat orang prajuritnya supaya membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu. Temyata ilmu Mbah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang diobati menjadi sembuh.
Sepeninggal Mbah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwon dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rabu Wekasan masyarakat berbondong- bondong untuk mencari berkah. Dengan mandi di pertempuran itu dimaksudkan manusia bersuci atau selalu "wisuh" untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat di dalam tubuh. Namun masyarakat mengartikan lain, bahwa "wisuh" atau mandi tadi diartikan lain, yakni mandi "
dengan "misuh" - berkata kotor. Menurut narasumber bahwa hal tersebut merupakan kepercayaan orang-orang yang datang dari luar daerah , sebab masyarakat Wonokromo sendiri tidak menggangap seperti itu, karena orang – orangnya beragama Islam yang kuat beragama dan menghindari syirik
2.  VERSI 2
Upacara Adat Rebo Wekasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Plered. Dalam buku Dewanto , disebutkan bahwa upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600 . Pada masa pemerintahannya Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Melihat penderitaan rakyatnya, Sultan Agung sangat prihatin yang kemudian Dia bersemedi di sebuah masjid di desa Kerta.
Setelah melakukan semedi, kemudian Sultan menerima wangsit atau ilham, bahwa wabah penyakit tersebut bisa hilang dengan syarat mempunyai tolak bala. Dengan adanya wangsit tersebut, kemudian Sultan Agung memanggil Kyai Sidik yang bertempat tinggal di Desa Wonokromo untuk melaksanakan pembuatan tolak bala tersebut. Setelah itu Kayai Sidik atau dikenal dengan nama Kyai Welit karena sudah mendengar keampuhannya itu. Setelah itu Kyai Welit melaksanakan dawuh untuk membuat tolak bala yang berwujud rajah dengan tulisan arab Bismillahirrahmanirrahim sebanyak 124 baris.
Setelah tulisan yang berwujud rajah itu selesai kemudian dibungkus dengan kain mori putih. Selanjutnya rajah tersebut diserahkan kepada Sultan Agung serta memohon supaya rajah tersebut dimasukkan kedalam air. Oleh Sultan Agung ajmat yang berupa rajah itu dimasukkan ke dalam bokor kencana yang sudah berisi air. Air ajimat itu kemudian diminumkan kepada orang sakit dan
menyembuhkan. Mulai saat itu kabarnya tersebar sampai desa–desa dan
menyebabkan orang sakit lalu berbondong bondong datang untk mendapatkan air dari ajimat tersebut.
Dengan banyak peduduk yang berdatangn untuk minta air ajimat, dikuatirkan air tersebut tidak mencukupi. Akhirnya Sultan Agung memerintahkan
kepada Kyai sidik agar air ajimat yang masih tersisa dalam bokor kencana tadi
dituangkan di tempuran kali Opak dan Gajah wong, dengan maksud supaya siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut. Berita itu cepat menyebar dan akhirnya masyarakat banyak yang mandi atau sekedar mencuci muka tempuran tersebut dengan harapan segala permasalahnnya dapat teratasi.
Jalan atau Prosesi Upacara
Dalam menyambut Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan di Desa Wonokromo, Kecamatan Plered, biasanya seminggu sebelum puncak acara telah terdapat stan-stan permainan seperti ombak banyu, trem, dremolem, dan sebagainya. Kemudian ada pasar malam yang bentuknya seperti sekaten, yakni ada yang berjualan pakaian, makanan, mainan dan sebagainya.
Tapi yang jelas dalam berjualan makanan tersebut tentu dijumpai orang yang berjualan lemper. Pada tahun 1990 tradisi Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan sudah dikoordinir oleh panitia. Pada waktu itu sebagai puncak acara adalah kirab lemper raksasa, yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 45 cm. Lemper tersebut kemudian diarak dari Masjid Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo sejauh 2 km. Dalam kirab lemper ini diawali dengan barisan prajurit Kraton Ngayogyakarta, menyusul kemudian lemper raksasa tiruan yang diusung oleh empat orang, dan diikuti lemper yang berukuran sepanjang 40 cm dan 15 cm. Selanjutnya yang di belakangnya lagi adalah beberapa kelompok kesenian setempat  seperti Shalawatan, Kubrosiswo,  Rodat, dan sebagainya yang ikut memeriahkan Upacara Rebo Wekasan.
Selama lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, di kantor balai desa sudah banyak para tamu undangan yang menunggu kehadiran lemper raksasa, lemper tersebut langsung ditempatkan di panggung yang telah disediakan. Beberapa saat kemudian upacara dibuka oleh ketua panitia, dilanjutkan dengan sambutan-sambutan para pejabat di lingkungan pemerintahan yang diundang seperti camat, kepala dinas, dan sebagainya.
Setelah itu baru diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi. Lemper tadi lalu dibagi-bagikan kepada tamu undangan yang hadir dan pengunjung. Kekurangannya ditambah dengan lemper biasa yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutup kekurangan. Demikian pula Gunungan yang dibawa tadi juga dipotong dan dibagi-bagikan pada pengunjung bahkan untuk rebutan seperti yang terjadi dalam acara sekaten di Kraton Ngayogyakarta itu. Setelah itu Upacara Rebo Wekasan selesai, hanya saja untuk stan-stan seperti ombak banyu, para penjual dan sebagainya itu tetap masih ada kira-kira seminggu lamanya. (http://www.tasteofjogja.org/contentdetil.php?kat=artk&id=MTIx&fle=Y29udGVudC5waHA=&lback=a2F0PWFydGsmYXJ0a2thdD01JmxiYWNrPSZwYWdlPTI)
Rebo wekasan (istilah masyarakat Jawa Timur), Rebo Pungkasan (istilah Yogya dan Jawa Tengah), dan Rebo Kasan (istilah Sunda Banten) adalah sebutan untuk hari rabu minggu keempat pada bulan safar. Rebo (rabu) merupakan hari ketiga dalam sepekan. Sedangkan wekasan adalah istilah yang berasal dari akar kata wekas yang berarti “pesan” atau “wanti-wanti”. Kemudian istilah pungkasan berasal dari akar kata pungkas yang berarti “akhir”. Yang terakhir, kasan adalah kata yang berasal dari kedua istilah diatas dengan menghilangkan suku kata di depannya.
Menurut Sarjana Belanda, Pyper, dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Aspek Tentang Sejarah Islam Indonesia Abad ke-19” menyebutkan sejak awal abad ke-17, tradisi ini sudah muncul di masyarakat muslim, khususnya di Aceh, Sumatera Barat dan Jawa. Masyarakat Cirebon misalnya, mempercayai bahwa ritual rebo pungkasan digagas oleh Sunan Kalijaga dan disetujui oleh Sunan Gunung Jati, bermula dari peristiwa dieksekusi matinya Syekh Lemah Abang/Syekh Siti Jenar di Masjid Agung Cirebon karena telah menyebarkan paham sesat “wihdatul wujud” (bersatunya Allah dengan manusia). Saat dieksekusi, dari mulut Syekh Siti Jenar keluar sumpah serapah yang tidak mengenakkan. Kemudian untuk ngemong murid-murid Syekh Siti Jenar, dibuatlah tradisi sedekah dengan membagikan kue apem kepada tetangga-tetangga.
Di beberapa tempat pula, misal dari kalangan Islam Sufiyah atau di pondok-pondok pesantren Salaf pada saat memasuki bulan safar, didapati mereka tengah sibuk melakukan tirakat dan bershadaqah hingga bulan tersebut berlalu. Kemudian pada puncaknya yakni pada hari rabu akhir bulan Safar, mereka melaksanakan shalat sunnah hajat untuk memohon kepada Allah agar dijauhi dari bala’ bencana. Kemudian mereka melanjutkan agenda dengan melakukan ritual mandi dan minum air barokah, atau air yang sudah dicampur dengan doa-doa atau rajah-rajah tertentu. Walaupun banyak kalangan yang meyakini tradisi seperti ini merupakan bid’ah yang tidak diajarkan oleh Nabi, tapi masih banyak pula yang meneruskan dan melestarikannya.



                                                                   IV.      PEMBAHASAN
Upacara Adat Rabu Pungkasan adalah tradisi yang dijaga kelestariannya dan berkembang sampai saat ini di Desa Wonokromo, Pleret, Bantul. Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan ini merupakan hari pertermuan antara Sri Sultan HB I dengan Kyai Faqih Usman. Berdasar itulah masyarakat menamakan Upacara Adat tersebut dengan Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.
“ Setau saya, tujuan Upacara Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, ” kata Bu Hanafi, salah satu masyarakat di Desa Wonokromo.
“ Mitos yang terkandung dalam upacara ini, sebenarnya sangat banyak. Hanya saja saya kurang tau semuanya, yang saya tau hanya satu, yaitu tentang sebagian orang mengartikan salah kata “wisuh” menjadi kata “misuh”. Yang kemudian menjadikan kesalahan pahaman, membuat sebagian orang itu memahami kalau mandi di Kali itu dengan “misuh” bukan “wisuh”, ” tambahan dari Bu Rofiqoh, salah satu tokoh masyarakat di Desa Wonokromo.
Jalan Prosesi Upacara Adat ini, dengan mengiring lemper sampai ke balai desa pada malam puncak acara. Tetapi seminggu sebelum itu, sudah ada kemeriahan di lapangan Desa Wonokromo, yaitu diadakannya pasar malem. Setelah puncak acara selesai, pasar malem itu masih ada, walau hanya beberapa yang berjualan, tetapi keramaian tidak berkurang.











                                                                            V.      PENUTUP
KESIMPULAN
Indonesia kaya dengan budaya dan adat istiadat yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak manfaat, tujuan, makna positif, dampak positif, dan lain sebagainya dalam kebudayaan dan adat istiadat di Indonesia. Sebagai generasi muda wajiblah mengembangkan, melestarikannya agar masa depan tidak merenggut budaya-budaya warisan nenek moyang dan hilang ditelan zaman. Rebo Pungkasan yang menjadi salah satu upacara adat masyarakat Wonokromo, Pleret,Bantul  dalam realisasinya selalu mengalami pengembangan-pengembangan agar masyarakat tidak jenuh dan bosan dengan diadakannya Rebo Pungkasan setiap tahunnya.

SARAN

“ Majulah budaya Indonesia, Bangunkan generasimu. Lestarikan dan jagalah kebudayaan yang berkembang di daerahmu.”

Jumat, 02 Mei 2014

MIKROSKOP

Diposting oleh Unknown di 08.41 0 komentar


          Mikroskop adalah alat optik yang digunakan untuk melihat benda-benda yang sangat kecil. Mikroskop terdiri atas dua jenis lensa, yaitu lensa objektif (lensa yang dekat dengan benda) dan lensa okuler (lensa yang dekat dengan mata pengamat). Jarak fokus lensa okuler lebih besar daripada jarak fokus lensa objektif. Hal ini agar benda yang diamati dapat kelihatan sangat besar dan mikroskop tidak terlalu panjang.

 

My Writting Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review