BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Akhlak Tercela (Akhlak
Mazmumah)
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu khalaqa-yahluqu, artinya menciptakan. Dari akar kata ini pula ada kata
makhluk (yang diciptakan) dan kata khalik (pencipta), maka akhlak berarti
segala sikap dan tingkah laku manusia yang datang dari pencipta (Allah swt).
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tercela berasal dari kata dasar cela yang
artinya sesuatu yg menyebabkan kurang sempurna, cacat, kekurangan; aib, noda
(tt kelakuan dsb); hinaan, kecaman, kritik. Tercela itu sendiri memiliki
arti tidak pantas. Sedangkan kata mazmumah berasal dari bahasa
arab yang bisa jadi arti asalnya adalah dibenci, dihujat.
Dengan
demikian, akhlak tercela dapat diartikan sebagai perangai, tabiat, watak yang
tidak pantas atau bahkan semua sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah,
karena akan mendatangkan kerugian baik bagi pelakunya ataupun orang lain. Imam
Ghazali berpendapat bahwa Akhlak tercela adalah segala tingkah laku manusia
yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja
bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.
2. Hub Al-Dunya
Hubb
al-Dunya terdiri dari dua kata, yaitu hubbun dan dunya.
Hubbun berasal dari bahasa arab yakni dari kata habba-yahubbu yang
artinya cinta, mencintai. Sedangkan dunya menurut lisanul arab
berasal dari danaa-yadnuu-dunuwwan-danawah semakna dengan qaruba yang
berarti dekat. Jadi Hub al-Dunya menurut bahasa adalah mencintai
dunia, adapun menurut istilah adalah mencintai dunia yang disangka mulia dan di
akhikat menjadi sia-sia.
Ciri-ciri
orang yang hubb al-dunya diantaranya adalah suka menumpuk
harta, mencintai popularitas guna membesarkan diri, mencintai segala sesuatu
yang membuat lupa beribadah dan terbiasa hidup mewah.
Kehidupan dunia ini tidak kekal, masih ada akhirat nanti, tempat sejati bagi manusia. Kehidupan dunia ini hanyalah sebatas permainan dan senda gurau, maka oleh karena itu tidak sepantasnya bagi manusia untuk terbuai dalam kehidupan dunia jikalau mereka mengetahui. Allah SWT berfirman dalam surat al-Ankabut ayat 64 :
Artinya
:
“Dan
tidaklah kehidupan dunia ini kecuali hanya sebatas senda gurau dan permainan,
dan sesungguhnya akhirat adalah kehidupan sejati. jikalau mereka mengetahui”.
Dunialah yang memperdaya seseorang sampai melupakan tugas pokoknya untuk beribadat menyembah Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surah Az-Zariyat ayat 56 :
Artinya
:
“Dan tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepadaKu)”.
Dengan
demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh
kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia,
seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat
yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah. Dan diantara dari
cara untuk menghadapi hubb al-dunya adalah menjauhi hal yang
mewah dan mencolok, melatih
diri untuk hidup sederhana dan menyadari bahwa dunia ini tidak lebih hanya
fatamorgana belaka.
KH.
Ahmad Rifa’i menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan
dunia sebagai berikut :
1.
Berpaling dari dunia maksiat, hukumnya
wajib.
2.
Berpaling dari dunia halal, hukumnya sunat.
3.
Meninggalkan dunia makruh, hukumnya juga
sunat.
4.
Mengambil dunia halal yang digunakan untuk
menolong berbuat kebajikan yang bermanfaat di akhirat, hukumnya sunat.
5.
Mengambil dunia halal sekedar hajat jika
benar-benar digunakan untuk menolong berbuat taat melaksanakan kewajiban demi
mengangkat derajat keimanan, hukumnya wajib.
Dari
pendapat KH. Ahmad Rifa’i diatas tentang ketentuan hukum mengambil atau
meninggalkan dunia, maka bisa diketahui bahwa dunia tak perlu dibenci secara
berlebihan karena dunia adalah anugerah Allah yang perlu diterima, dinikmati
dan disyukuri bukan diingkari. Selain itu seseorang tidak dapat menikmati
nikmatnya akhirat (surga) kecuali dengan melalui kehidupan dunia. Allah SWT
berfirman dalam surat al-Qashas ayat 77 :
Artinya
:
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan
akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia, dan
berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.”
3. Itba’ Al-Hawa
Itba berasal
dari bahasa Arab yakni masdar dari kata atbaa-yutbiu yang
berarti mengikuti. Sedangkan hawa dalam bahasa Arab adalah
kecenderungan nafsu kepada syahwat. Kata hawa dalam bahasa Arab
juga mengandung arti turun dari atas ke bawah, tetapi lebih mengandung konotasi
negatif. Menurut al-Isfahani, hawa mengandung arti bahwa pemiliknya akan jatuh
ke dalam kerunyaman besar ketika hidup di dunia, dan di akhirat dimasukan ke dalam
neraka Hawiyah.
Menurut
KH. Ahmad Rifa’i, orang yang mengikuti hawa nafsu berarti buta mata hatinya
karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang sperti ini akan tersesat dari
jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan dan melupakan kehidupan kekal dan
abadi di akhirat. Allah
SWT berfirman dalam surat Shad ayat 26 :
Artinya
:
“Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Hawa
nafsu dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan
perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara. Kalau nafsu yang
berkuasa, kehancuran tidak dapat dielakkan lagi, dan hilanglah pengaruh ilmu
pengetahuan serta lunturlah keaslian keyakinan. Muhammad bin Ibrahmi pernah berkata
: “Setiap perbuatan jahat berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu
untuk menjadi tempat penderitaan”.
Nafsu
di dalam Al-Qur’an terbagi kepada 3 bagian, yaitu :
1.
Nafsu Muthmainnah
Nafsu
muthmainnah yaitu jiwa yang tenang dan tentram. Ketika iman menang melawan hawa
nafsu, perbuatan manusia lebih banyak yang baik daripada yang buruk, karena
akal menguasai nafsu. Nafsu ini tergolong tahap tertinggi, nafsu yang sempurna,
berada dalam kebenaran dan kebajikan, dan inilah nafsu yang dipanggil dan
dirahmati oleh Allah SWT.
2.
Nafsu Lawwamah
Nafsu
lawwamah yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-kekurangan
diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang
mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi. Ketika iman kadangkalah menang
dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia seperti ini
perbuatannya relatif seimbang antara baik dan buruk. Orang dengan nafsu
lawammah ini biasanya disaat ia melakukan maksiat/dosa maka akan timbul
penyesalan dalam dirinya, namun dalam kesempatan lain ia akan mengulangi
maksiat tersebut yang juga akan diiringi dengan penyesalan-penyesalan kembali.
3.
Nafsu Ammarah
Nafsu
ammarah yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang
rendah, yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Ketika iman kalah oleh hawa
nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang
baik. Orang yang seperti inilah yang hawa nafsunya menguasai dirinya, dan akal
mereka berada dibawah pengaruh hawa nafsu.
4. Thama’
Thama berasal
dari bahasa Arab yang artinya serakah, rakus. Dapat dipahami bahwa thama sifat
rakus yang sangat berlebihan terhadap sesuatu yang bernilai keduniawian,
sehingga tidak memperhitungkan haram halal cara mendapatkan hal tersebut yang
penting adalah tercapainya keinginan tersebut.
Sifat
ini sangat berbahaya bagi manusia, karena dapat mengakibatkan rasa iri, dengki,
dan permusuhan diantara sesama manusia. Selain itu sifat ini dapat menyebabkan
orang yang memiliki sifat ini melakukan hal yang keji dan munkar, karena mereka
menginginkan sesuatu tanpa memikirkan halal haramnya cara mendapatkannya.
Dan
orang yang thama adalah orang yang paling hina disisi Allah.
Sebagaimana Ibrahim bin Ismail berkata: “Dunia itu lebih sedikit dari yang paling
sedikit dan orang yang rakus terhadap dunia lebih hina dari orang-orang yang
hina”.
Thama timbul
dari waham yaitu ragu-ragu dengan rezeki yang dijamin oleh
Allah SWT. Ibnu Athaillah mengatakan: “Tak ada yang lebih
mendorong kepada Thama melainkan imajinasi (waham) itu sendiri”.
Dorongan imajinatif, dan lamunan-lamunan panjang yang palsu senantiasa
menjuruskan pada sifat thama dan segala bentuk keinginan yang
ada kaitannya dengan kekuatan, kekuasaan, dan fasilitas makhluk.
Ciri-ciri
dari orang yang thama adalah tidak pernah bersyukur kepada
Allah, selalu merasa kurang, terbiasa dengan kehidupan mewah dan serba mahal,
dan sebagainya.
Beberapa cara untuk
menghadapi sifat ini diantaranya adalah :
§ Selalu
bersyukur dengan apa yang dimiliki. Karena Allah mengancam orang yang tidak
bersyukur dengan adzab yang pedih.
§ Membiasakan
diri hidup sederhana.
§ Bijaksana
dalam membelanjakan harta.
§ Menyadari
bahwa kehidupan dunia itu sementara dan dunia hanyalah permainan.
§ Melihat
“ke bawah” dan tidak melihat “ke atas
5. Hasad
Hasad
berasal dari kata hasada-yahsudu yang berarti iri, dengki, benci.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa ulama yang berpendapat tentang
pengertian hasad, diantaranya:
·
Imam al-Ghazali : membenci nikmat Allah
SWT yang ada pada diri orang lain, dan mengharapkan hilangnya nikmat tersebut.
·
Imam An-Nawawi : berangan-angan hilangnya
nikmat dari saudaranya, baik nikmat agama ataupun dunia.
Apabila
Allah memberi nikmat kepada seseorang maka ada dua hal yang mungkin terjadi :
§ Membenci
dan menyukai hilangnya nikmat itu dari orang tersebut, dan inilah yang
dinamakan hasad.
§ Tidak
menyukai hilang dan tidak membenci adanya serta kekalnya nikmat itu tetapi
menginginkan yang seperti itu. Dan ini dinamakan ghibthah. Dan
kadang dikhususkan dengan nama munafasah (berlomba-lomba).
Hasad hukumnya adalah
haram, dan orang yang memiliki sifat hasad semua amal kebaikannya akan terhapus
karena hasad seperti api yang membakar kayu. Rasulullah SAW bersabda yang artinya
:
“hindarilah sifat hasad,
karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”.
Rasulullah
pun secara terang-terangan dalam haditsnya menyebutkan untuk jangan berbuat
atau memiliki sifat hasad. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“janganlah kamu saling membenci, saling
mendengki, saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara”.
Sedangkan ghibtah atau munafasah tidak
haram, bisa wajib, sunnat, dan mubah (boleh). Rasulullah SAW bersabda yang
artinya :
“sesungguhnya orang
mu’min itu ghibtah, sedangkan orang munafiq itu hasad”.
Allah SWT berfirman
mengenai bolehnya munafasah dalam hal kebaikan :
“…..dan untuk demikian
hendaknya orang berlomba-lomba”. Q.S. al-Muthafifiin ayat
26.
Hasad
memiliki banyak sebab, yaitu permusuhan, ingin disanjung, kebencian,
kesombongan, ‘ujub, ketakutan hilangnya maksud-maksud yang diinginkan, cinta
kekuasaan, kotornya jiwa, dan kebakhilan.
Hasad
memberi madarat dalam agama maksudnya, bahwa dengan hasad secara tidak langsung
adalah marah/murka kepada takdir Allah dan membenci nikmat dan keadilan Allah
atas hamba-hambaNya. Dan hal ini suatu penganiayaan dan mengotori kepada
ketauhidan dan keimanan.
Setiap
manusia pasti memiliki sifat hasad, namun tergantung dari manusia tersebut
menyikapinya, ada yang menampakkannya dan ada yang diam tidak menampakkanya
serta menyembunyikannya. Maka orang bersikap terakhir tidak akan mendapat dosa
dan kemadaratan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“tiga
hal yang tidak terlepas dari seseorang : prasangka, hasad, dan takhayul. Maka
apabila prasangka jangan dinyatakan, apabila hasad jangan melanggar, dan
apabila tathayyur maka harus melakukan”.
6. Takabur
Secara bahasa Takabur
berasal dari kata bahasa arab takabbara-yatakabbaru yang artinya sombong atau
membanggakan diri. Secara istilah takabur adalah sikap berbangga diri
dengan beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang paling hebat dan benar
dibandingkan dengan orang lain.
Takabur
semakna dengan ta'azum, yakni menampakkan keagungan dan kebesarannya, merasa
agung dan besar dibandingkan orang lain. Banyak hal yang menyebabkan orang
menjadi sombong, diantaranya dalam hal ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nasab
(keturunan), kecantikan, harta kekayaan dan, kekuatan. Akan tetapi jika di
antara semua itu tidak bisa ia dapatkan atau menemukan kagagalan, maka ia akan
mudah putus asa dan cenderung menyalahkan orang lain.
Takabur
termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di hindari. Dijelaskan dalam
firman Allah SWT :
Artinya
:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong”. (Q.S.Al-Nahl :23).
Takabur dibagi menjadi
tiga :
i.
Takabur
kepada Allah swt, inilah takabur paling berat dan keji, ini seperti yang
dilakukan fira’un karena mengaku dirinya dapat memerangi tuhan semesta alam
atau takabur yang diperlihatkan oleh orangorang yang mengaku Tuhan.
ii.
Takabbur
kepada rasul, yaitu tidak mau mengajarkan ajaran ajaran Nabi Muhammad SAW. serta menghina dan menyepelekan ajarannya. Ini seperti
kaum quraisy yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.
iii.
Takabur
terhadap sesame manusia, yaitu mengaggap orang lain remeh dan hina.
Meskipun tigkatannya lebih rendah dari yang pertama dan kedua, kesombongan yang ketiga
ini tetap saja merupakan perilaku yang sangat dicela karena kesombongan, keagungan
dan kemuliaan tidak layak, kecuali bagi Allah, Tuhan semesta alam.
7. Riya’
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Riya’ sebagai
berikut: Riya’ menurut bahasa ialah memperlihatkan amal
kebajikannya kepada manusia, adapun menurut istilah ialah melakukan ibadah
dengan tujuan di dalam batinnya karena demi manusia, dunia yang dicari tujuan
ibadah tidak sebenarnya karena Allah.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Riya' ialah : Melakukan amal kebaikan bukan
karena niat beribadah kepada Allah SWT. melainkan demi manusia dengan cara
memperlihatkan amal Kebaikan-Nya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau
penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan Kepada-Nya.
Riya’
merupakan perbuatan tercela dan merupakan syirik kecil yang hukumnya haram. Riya’
sebagai salah satu sifat orang munafik yang seharusnya dijauhi oleh orang
mukmin. Allah SWT. berfirman dalam QS. An Nisa’ : 142 :
Artinya :
“Sesungguhnya
orang-rang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud
riya’ (dengan shalat itu) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka dzkiri kepada
Allah kecuali sedikit sekali.”
K.H.
Ahmad Rifa’i menggolongkan riya’ke dalam dua tingkatan :
1.
Riya Kholis yaitu : Melakukan ibadah
semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia.
2.
Riya' Syirik yaitu : Melakukan perbuatan
karena niat menjalankan perintah Allah SWT, dan juga karena untuk mendapatkan
pujian dari manusia. Kedua-Nya bercampur menjadi satu.
Disamping kedua macam riya’ tersebut
diatas, K.H. Ahmad Rifa’i masih menggolongkan riya’ menjadi dua
bagian-lagi :
1.
Riya Jali (terang-terangan) adalah
seseorang beramal di hadapan orang lain, namun ketika ia sendirian ia tidak melakukannya.
2.
Riya Khafi (riya yg tersembunyi) adalah
seseorang beramal ibadah, baik ketika ada orang lain ataupun tidak, namun
hatinya cenderung merasa senang jika amalnya diketahui oleh orang lain.
Perbuatan Riya bila dilihat dari sisi
amal/citra yang ditonjolkan menurut Imam Al-Ghazali dapat terbagi 5 kategori :
1.
Riya dalam masalah agama dengan penampilan
jasmani. Misalnya, memperlihatkan badan yang kurus dan pucat agar disangka
banyak melakukan ibadah puasa dan ibadah shalat tahajud.
2.
Riya dalam penampilan tubuh dan pakaian.
Misalnya memakai baju koko agar disangka shaleh atau memperlihatkan tanda hitam
di dahi agar disangka rajin dalam melakukan ibadah sholat.
3.
Riya dalam perkataan. Misalnya orang yang
selalu bicara tentang keagamaan agar disangka ahli agama.
4.
Riya dalam perbuatan. Misalnya orang yang
sengaja memperbanyak ibadah shalat sunnah di hadapan orang banyak agar disangka
orang sholeh. Atau seseorang yang pergi naik haji/umroh untuk memperbaiki
Citranya didepan masyarakat.
5.
Riya dalam persahabatan. Misalnya orang
yang sengaja mengikuti ustadz ke manapun beliau (ustadz) itu pergi agar ia
disangka termasuk orang alim.
8. ‘Ujub
Ujub
adalah mengagumi diri sendiri, yaitu ketika kita merasa bahwa diri kita
memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain.
Macam-macam
al-‘Ujub :
1.
‘Ujub dengan keindahan badannya,
kesehatannya, kekuatannya, dan lain sebagainya. Allah Swt. berfirman didalam Q.S.
An-Najm ayat 32 :
Artinya :
“(Yaitu) orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan
kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui
(tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu
masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.
Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
2.
‘Ujub dengan akal dan kecerdikan serta
dengan kepandaian yang dimiliki, dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan
baik yang menyangkut permasalahan dunia maupun keagamaan.
3.
‘Ujub karena mempunyai keturunan yang mulia.
4.
‘Ujub dengan silsilah raja yang zalim.
5.
‘Ujub karena banyak memiliki anak,
pembantu, keluarga, teman, penolong, pengikut, dan lain sebagainya.
6.
‘Ujub karena harta.
Perasaan
‘ujub bisa terjadi karena faktor internal
maupun eksternal. Faktor
internal berada di dalam
pilihan seorang hamba, seperti ‘ujub karena ibadah, bersedekah, berpolitik, dan
lain sebagainya. Sedang faktor ekstern berada di luar pilihan seorang hamba
yang disebabkan oleh kemampuan dan kekuatan yang dimiliki, kesehatan, akal, dan
kehendak, dan lain sebagainya. Sehingga banyaklah pujian yang datang pada orang
tersebut yang kemudian menyebabkan orang tersebut bersifat ‘ujub atas pujian
yang datang itu.
9. Sum’ah
Definisi
al-sum’ah dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Sum’ah menurut
bahasa adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun menurut istilah adalah
melakukan ibadah dengan benar lahiriyah ikhlas karena Allah Yang Maha Pengasih
dan Luhur kemudian amal kebajikannya diceritakan kepada orang lain supaya orang
lain memuliakan terhadap dirinya, itu sudah bercampur dengan haram. Hatinya
tidak ridha menuju kepada Allah melainkan bathinnya menuju karena dunia itulah
sum’ah, haram hukumnya sesudah melakukan amal kebajikan.
Dari definisi di
atas dapat dipahami bahwa sum’ah berarti amal ibadah yang telah dilakukan oleh
seseorang dengan benar sesuai dengan hukum syara’ dan dengan niat yang ikhlas
karena Allah, kemudian amal ibadah tersebut ditutur-tuturkan atau
diperdengarkan kepada orang lain, agar orang lain memujinya dan menghormatinya.
Perbuatan seperti itu hukumnya haram, karena ia telah mencampur adukan antara
niat ikhlas karena Allah dan niat ingin mendapat penghormatan dari manusia. Hal
ini sejalan dengan ungkapan Al-Ghazali yang artinya : “Janganlah kamu menampak-nampakkan sifat keutamaan ilmu dan ketaatan.”
Disini timbul pertanyaan: bagaimana jika
seseorang menampakan sifat keutamaannya baik ilmunya yang luas, budi pekertinya
yang luhur, ketaatannya dalam beribadah kepada Allah, maupun yang lainnya
dengan tujuan agar orang lain mengikuti jejaknya atau agar orang lain mau
melakukan perbuatan-perbuatan yang utama.
Dalam hal ini K.H. Ahmad Rifa’i
menjelaskan bahwa sum’ah yang dilakukan dengan niat yang baik, yakni untuk
memberi nasehat agar orang lain mau meninggalkan perbuatan yang tercela dan
melaksanakan perbuatan yang terpuji atau untuk memberi contoh agar orang lain
mau mengikuti jejaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang utama, maka
sum’ah seperti ini diperbolehkan, bahkan pelakunya akan memperoleh pahala yang
besar.
Syaratnya jangan sampai terbetik di dalam hati untuk memperoleh penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ad-Dhuha ayat 11
Artinya :
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka
hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).”
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sum’ah tergantung dari niatnya. Jika sum’ah
dengan niat demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi terpuji.
Begitu pula sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk memamerkan
keutamaan dan keistimewaan diri agar mendapat pujian dari manusia, maka sum’ah
tersebut menjadi tercela.
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Akhlak tercela adalah
perangai,
tabiat, watak yang tidak pantas atau bahkan semua sikap dan perbuatan yang
dilarang oleh Allah, karena akan mendatangkan kerugian baik bagi pelakunya
ataupun orang lain.
Akhlak tercela merupakan perilaku yang sangat dibenci oleh
Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW karena perbuatan ini dapat merusak jasmani
serta rohani dari orang yang melakukan perbutan-perbuatan tercela tersebut.
Berikut adalah berbagai jenis akhlak tercela yand ada
diantaranya seperti Hub Al-Dunya ,
Itba’ Al-Hawa ,Thama’,
Hasad ,Takabur ,Riya’,‘Ujub dan Sum’ah .
Semua perbuatan tersebut sangatlah dibenci Allah, Oleh
karenanya kita harus menghindari perilaku tersebut dengan cara seperti: banyak
bersyukur kepada Allah SWT, bersifaat qanaah, membiasakan hidup sederhana,
membelanjakan harta dengan bijaksana,dll.
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar