Jumat, 12 Mei 2017

Akhlak Tercela (Akhlak Mazmumah)

Diposting oleh Unknown di 20.08
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Akhlak Tercela (Akhlak Mazmumah)
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu khalaqa-yahluqu, artinya menciptakan. Dari akar kata ini pula ada kata makhluk (yang diciptakan) dan kata khalik (pencipta), maka akhlak berarti segala sikap dan tingkah laku manusia yang datang dari pencipta (Allah swt).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tercela berasal dari kata dasar cela yang artinya sesuatu yg menyebabkan kurang sempurna, cacat, kekurangan; aib, noda (tt kelakuan dsb); hinaan, kecaman, kritik. Tercela itu sendiri memiliki arti tidak pantas. Sedangkan kata mazmumah berasal dari bahasa arab yang bisa jadi arti asalnya adalah dibenci, dihujat.
Dengan demikian, akhlak tercela dapat diartikan sebagai perangai, tabiat, watak yang tidak pantas atau bahkan semua sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah, karena akan mendatangkan kerugian baik bagi pelakunya ataupun orang lain. Imam Ghazali berpendapat bahwa Akhlak tercela adalah segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.

2.      Hub Al-Dunya
Hubb al-Dunya terdiri dari dua kata, yaitu hubbun dan dunya. Hubbun berasal dari bahasa arab yakni dari kata habba-yahubbu yang artinya cinta, mencintai. Sedangkan dunya menurut lisanul arab berasal dari danaa-yadnuu-dunuwwan-danawah semakna dengan qaruba yang berarti dekat. Jadi Hub al-Dunya menurut bahasa adalah mencintai dunia, adapun menurut istilah adalah mencintai dunia yang disangka mulia dan di akhikat menjadi sia-sia.
Ciri-ciri orang yang hubb al-dunya diantaranya adalah suka menumpuk harta, mencintai popularitas guna membesarkan diri, mencintai segala sesuatu yang membuat lupa beribadah dan terbiasa hidup mewah.
Hasil gambar untuk surah al ankabut ayat 64

Kehidupan dunia ini tidak kekal, masih ada akhirat nanti, tempat sejati bagi manusia. Kehidupan dunia ini hanyalah sebatas permainan dan senda gurau, maka oleh karena itu tidak sepantasnya bagi manusia untuk terbuai dalam kehidupan dunia jikalau mereka mengetahui. Allah SWT berfirman dalam surat al-Ankabut ayat 64 :
Artinya :

“Dan tidaklah kehidupan dunia ini kecuali hanya sebatas senda gurau dan permainan, dan sesungguhnya akhirat adalah kehidupan sejati. jikalau mereka mengetahui”.
 
Hasil gambar untuk az zariyat ayat 56

Dunialah yang memperdaya seseorang sampai melupakan tugas pokoknya untuk beribadat menyembah Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surah Az-Zariyat ayat 56 :
Artinya :
Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepadaKu)”.

Dengan demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia, seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah. Dan diantara dari cara untuk menghadapi hubb al-dunya adalah menjauhi hal yang mewah dan mencolok, melatih diri untuk hidup sederhana dan menyadari bahwa dunia ini tidak lebih hanya fatamorgana belaka.
KH. Ahmad Rifa’i menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan dunia sebagai berikut :
1.      Berpaling dari dunia maksiat, hukumnya wajib.
2.      Berpaling dari dunia halal, hukumnya sunat.
3.      Meninggalkan dunia makruh, hukumnya juga sunat.
4.      Mengambil dunia halal yang digunakan untuk menolong berbuat kebajikan yang bermanfaat di akhirat, hukumnya sunat.
5.      Mengambil dunia halal sekedar hajat jika benar-benar digunakan untuk menolong berbuat taat melaksanakan kewajiban demi mengangkat derajat keimanan, hukumnya wajib.
Dari pendapat KH. Ahmad Rifa’i diatas tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan dunia, maka bisa diketahui bahwa dunia tak perlu dibenci secara berlebihan karena dunia adalah anugerah Allah yang perlu diterima, dinikmati dan disyukuri bukan diingkari. Selain itu seseorang tidak dapat menikmati nikmatnya akhirat (surga) kecuali dengan melalui kehidupan dunia. Allah SWT berfirman dalam surat al-Qashas ayat 77 :
Hasil gambar untuk al qasas ayat 77
Artinya :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.”

3.      Itba’ Al-Hawa
Itba berasal dari bahasa Arab yakni masdar dari kata atbaa-yutbiu yang berarti mengikuti. Sedangkan hawa dalam bahasa Arab adalah kecenderungan nafsu kepada syahwat. Kata hawa dalam bahasa Arab juga mengandung arti turun dari atas ke bawah, tetapi lebih mengandung konotasi negatif. Menurut al-Isfahani, hawa mengandung arti bahwa pemiliknya akan jatuh ke dalam kerunyaman besar ketika hidup di dunia, dan di akhirat dimasukan ke dalam neraka Hawiyah.
Menurut KH. Ahmad Rifa’i, orang yang mengikuti hawa nafsu berarti buta mata hatinya karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang sperti ini akan tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan dan melupakan kehidupan kekal dan abadi di akhirat. Allah
Hasil gambar untuk surah as shad ayat 26

SWT berfirman dalam surat Shad ayat 26 :

Artinya :
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
 Hawa nafsu dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara. Kalau nafsu yang berkuasa, kehancuran tidak dapat dielakkan lagi, dan hilanglah pengaruh ilmu pengetahuan serta lunturlah keaslian keyakinan. Muhammad bin Ibrahmi pernah berkata : “Setiap perbuatan jahat berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan”.
Nafsu di dalam Al-Qur’an terbagi kepada 3 bagian, yaitu :
1.      Nafsu Muthmainnah
Nafsu muthmainnah yaitu jiwa yang tenang dan tentram. Ketika iman menang melawan hawa nafsu, perbuatan manusia lebih banyak yang baik daripada yang buruk, karena akal menguasai nafsu. Nafsu ini tergolong tahap tertinggi, nafsu yang sempurna, berada dalam kebenaran dan kebajikan, dan inilah nafsu yang dipanggil dan dirahmati oleh Allah SWT.

2.      Nafsu Lawwamah
Nafsu lawwamah yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-kekurangan diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi. Ketika iman kadangkalah menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia seperti ini perbuatannya relatif seimbang antara baik dan buruk. Orang dengan nafsu lawammah ini biasanya disaat ia melakukan maksiat/dosa maka akan timbul penyesalan dalam dirinya, namun dalam kesempatan lain ia akan mengulangi maksiat tersebut yang juga akan diiringi dengan penyesalan-penyesalan kembali.

3.      Nafsu Ammarah
Nafsu ammarah yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang rendah, yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Ketika iman kalah oleh hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. Orang yang seperti inilah yang hawa nafsunya menguasai dirinya, dan akal mereka berada dibawah pengaruh hawa nafsu.
4.      Thama’
Thama berasal dari bahasa Arab yang artinya serakah, rakus. Dapat dipahami bahwa thama sifat rakus yang sangat berlebihan terhadap sesuatu yang bernilai keduniawian, sehingga tidak memperhitungkan haram halal cara mendapatkan hal tersebut yang penting adalah tercapainya keinginan tersebut.
Sifat ini sangat berbahaya bagi manusia, karena dapat mengakibatkan rasa iri, dengki, dan permusuhan diantara sesama manusia. Selain itu sifat ini dapat menyebabkan orang yang memiliki sifat ini melakukan hal yang keji dan munkar, karena mereka menginginkan sesuatu tanpa memikirkan halal haramnya cara mendapatkannya.
Dan orang yang thama adalah orang yang paling hina disisi Allah. Sebagaimana Ibrahim bin Ismail berkata: “Dunia itu lebih sedikit dari yang paling sedikit dan orang yang rakus terhadap dunia lebih hina dari orang-orang yang hina”.
Thama timbul dari waham yaitu ragu-ragu dengan rezeki yang dijamin oleh Allah SWT. Ibnu Athaillah mengatakan: “Tak ada yang lebih mendorong kepada Thama melainkan imajinasi (waham) itu sendiri”. Dorongan imajinatif, dan lamunan-lamunan panjang yang palsu senantiasa menjuruskan pada sifat thama dan segala bentuk keinginan yang ada kaitannya dengan kekuatan, kekuasaan, dan fasilitas makhluk.
Ciri-ciri dari orang yang thama adalah tidak pernah bersyukur kepada Allah, selalu merasa kurang, terbiasa dengan kehidupan mewah dan serba mahal, dan sebagainya.
Beberapa cara untuk menghadapi sifat ini diantaranya adalah :
§  Selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki. Karena Allah mengancam orang yang tidak bersyukur dengan adzab yang pedih.
§  Membiasakan diri hidup sederhana.
§  Bijaksana dalam membelanjakan harta.
§  Menyadari bahwa kehidupan dunia itu sementara dan dunia hanyalah permainan.
§  Melihat “ke bawah” dan tidak melihat “ke atas

5.      Hasad
Hasad berasal dari kata hasada-yahsudu yang berarti iri, dengki, benci. Sedangkan menurut istilah ada beberapa ulama yang berpendapat tentang pengertian hasad, diantaranya:
·         Imam al-Ghazali : membenci nikmat Allah SWT yang ada pada diri orang lain, dan mengharapkan hilangnya nikmat tersebut.
·         Imam An-Nawawi : berangan-angan hilangnya nikmat dari saudaranya, baik nikmat agama ataupun dunia.
Apabila Allah memberi nikmat kepada seseorang maka ada dua hal yang mungkin terjadi :
§  Membenci dan menyukai hilangnya nikmat itu dari orang tersebut, dan inilah yang dinamakan hasad.
§  Tidak menyukai hilang dan tidak membenci adanya serta kekalnya nikmat itu tetapi menginginkan yang seperti itu. Dan ini dinamakan ghibthah. Dan kadang dikhususkan dengan nama munafasah (berlomba-lomba).
Hasad hukumnya adalah haram, dan orang yang memiliki sifat hasad semua amal kebaikannya akan terhapus karena hasad seperti api yang membakar kayu. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“hindarilah sifat hasad, karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”.
Rasulullah pun secara terang-terangan dalam haditsnya menyebutkan untuk jangan berbuat atau memiliki sifat hasad. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
 “janganlah kamu saling membenci, saling mendengki, saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara”.
Sedangkan ghibtah atau munafasah tidak haram, bisa wajib, sunnat, dan mubah (boleh). Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
sesungguhnya orang mu’min itu ghibtah, sedangkan orang munafiq itu hasad”.
Allah SWT berfirman mengenai bolehnya munafasah dalam hal kebaikan :
Hasil gambar untuk al-Muthaffifin ayat 26.
“…..dan untuk demikian hendaknya orang berlomba-lomba”. Q.Sal-Muthafifiin ayat 26.
Hasad memiliki banyak sebab, yaitu permusuhan, ingin disanjung, kebencian, kesombongan, ‘ujub, ketakutan hilangnya maksud-maksud yang diinginkan, cinta kekuasaan, kotornya jiwa, dan kebakhilan.
Hasad memberi madarat dalam agama maksudnya, bahwa dengan hasad secara tidak langsung adalah marah/murka kepada takdir Allah dan membenci nikmat dan keadilan Allah atas hamba-hambaNya. Dan hal ini suatu penganiayaan dan mengotori kepada ketauhidan dan keimanan.
Setiap manusia pasti memiliki sifat hasad, namun tergantung dari manusia tersebut menyikapinya, ada yang menampakkannya dan ada yang diam tidak menampakkanya serta menyembunyikannya. Maka orang bersikap terakhir tidak akan mendapat dosa dan kemadaratan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“tiga hal yang tidak terlepas dari seseorang : prasangka, hasad, dan takhayul. Maka apabila prasangka jangan dinyatakan, apabila hasad jangan melanggar, dan apabila tathayyur maka harus melakukan”.

6.      Takabur
Secara bahasa Takabur berasal dari kata bahasa arab takabbara-yatakabbaru yang artinya sombong atau membanggakan diri. Secara istilah takabur adalah sikap berbangga diri dengan beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang paling hebat dan benar dibandingkan dengan orang lain.
Takabur semakna dengan ta'azum, yakni menampakkan keagungan dan kebesarannya, merasa agung dan besar dibandingkan orang lain. Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong, diantaranya dalam hal ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nasab (keturunan), kecantikan, harta kekayaan dan, kekuatan. Akan tetapi jika di antara semua itu tidak bisa ia dapatkan atau menemukan kagagalan, maka ia akan mudah putus asa dan cenderung menyalahkan orang lain.
Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di hindari. Dijelaskan dalam firman Allah SWT :
Artinya :
Hasil gambar untuk surah an nahl ayat 23
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. (Q.S.Al-Nahl :23).
Takabur dibagi menjadi tiga :
                    i.      Takabur kepada Allah swt, inilah takabur paling berat dan keji, ini seperti yang dilakukan fira’un karena mengaku dirinya dapat memerangi tuhan semesta alam atau takabur yang diperlihatkan oleh orangorang yang mengaku Tuhan.
                  ii.      Takabbur kepada rasul, yaitu tidak mau mengajarkan ajaran ajaran Nabi Muhammad SAW. serta menghina dan menyepelekan ajarannya. Ini seperti kaum quraisy yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.
                iii.      Takabur terhadap sesame manusia, yaitu mengaggap orang lain remeh dan hina. Meskipun tigkatannya lebih rendah dari yang pertama dan kedua, kesombongan yang ketiga ini tetap saja merupakan perilaku yang sangat dicela karena kesombongan, keagungan dan kemuliaan tidak layak, kecuali bagi Allah, Tuhan semesta alam.

7.      Riya’
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Riya’ sebagai berikut: Riya’ menurut bahasa ialah memperlihatkan amal kebajikannya kepada manusia, adapun menurut istilah ialah melakukan ibadah dengan tujuan di dalam batinnya karena demi manusia, dunia yang dicari tujuan ibadah tidak sebenarnya karena Allah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Riya' ialah : Melakukan amal kebaikan bukan karena niat beribadah kepada Allah SWT. melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal Kebaikan-Nya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan Kepada-Nya.
Riya’ merupakan perbuatan tercela dan merupakan syirik kecil yang hukumnya haram. Riya’ sebagai salah satu sifat orang munafik yang seharusnya dijauhi oleh orang mukmin. Allah SWT. berfirman dalam QS. An Nisa’ : 142 :
Hasil gambar untuk surah an nisa ayat 142
Artinya :
Sesungguhnya orang-rang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya’ (dengan shalat itu) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka dzkiri kepada Allah kecuali sedikit sekali.”
K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan riya’ke dalam dua tingkatan :
1.      Riya Kholis yaitu : Melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia.
2.      Riya' Syirik yaitu : Melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah SWT, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia. Kedua-Nya bercampur menjadi satu.
Disamping kedua macam riya’  tersebut diatas, K.H. Ahmad Rifa’i masih menggolongkan riya’ menjadi dua bagian-lagi :
1.      Riya Jali (terang-terangan) adalah seseorang beramal di hadapan orang lain, namun ketika ia sendirian ia tidak melakukannya.
2.      Riya Khafi (riya yg tersembunyi) adalah seseorang beramal ibadah, baik ketika ada orang lain ataupun tidak, namun hatinya cenderung merasa senang jika amalnya diketahui oleh orang lain.
Perbuatan Riya bila dilihat dari sisi amal/citra yang ditonjolkan menurut Imam Al-Ghazali dapat terbagi 5 kategori :
1.      Riya dalam masalah agama dengan penampilan jasmani. Misalnya, memperlihatkan badan yang kurus dan pucat agar disangka banyak melakukan ibadah puasa dan ibadah shalat tahajud.
2.      Riya dalam penampilan tubuh dan pakaian. Misalnya memakai baju koko agar disangka shaleh atau memperlihatkan tanda hitam di dahi agar disangka rajin dalam melakukan ibadah sholat.
3.      Riya dalam perkataan. Misalnya orang yang selalu bicara tentang keagamaan agar disangka ahli agama.
4.      Riya dalam perbuatan. Misalnya orang yang sengaja memperbanyak ibadah shalat sunnah di hadapan orang banyak agar disangka orang sholeh. Atau seseorang yang pergi naik haji/umroh untuk memperbaiki Citranya didepan masyarakat.
5.      Riya dalam persahabatan. Misalnya orang yang sengaja mengikuti ustadz ke manapun beliau (ustadz) itu pergi agar ia disangka termasuk orang alim.

8.      ‘Ujub
Ujub adalah mengagumi diri sendiri, yaitu ketika kita merasa bahwa diri kita memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain.
Macam-macam al-‘Ujub :
1.      ‘Ujub dengan keindahan badannya, kesehatannya, kekuatannya, dan lain sebagainya. Allah Swt. berfirman didalam Q.S. An-Najm ayat 32 :
Hasil gambar untuk surah an najm ayat 32
Artinya :
(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
2.      ‘Ujub dengan akal dan kecerdikan serta dengan kepandaian yang dimiliki, dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan baik yang menyangkut permasalahan dunia maupun keagamaan.
3.      ‘Ujub karena mempunyai keturunan yang mulia.
4.      ‘Ujub dengan silsilah raja yang zalim.
5.      ‘Ujub karena banyak memiliki anak, pembantu, keluarga, teman, penolong, pengikut, dan lain sebagainya.
6.      ‘Ujub karena harta.
Perasaan ‘ujub bisa terjadi karena faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berada di dalam pilihan seorang hamba, seperti ‘ujub karena ibadah, bersedekah, berpolitik, dan lain sebagainya. Sedang faktor ekstern berada di luar pilihan seorang hamba yang disebabkan oleh kemampuan dan kekuatan yang dimiliki, kesehatan, akal, dan kehendak, dan lain sebagainya. Sehingga banyaklah pujian yang datang pada orang tersebut yang kemudian menyebabkan orang tersebut bersifat ‘ujub atas pujian yang datang itu.

9.      Sum’ah
Definisi al-sum’ah dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Sum’ah menurut bahasa adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan benar lahiriyah ikhlas karena Allah Yang Maha Pengasih dan Luhur kemudian amal kebajikannya diceritakan kepada orang lain supaya orang lain memuliakan terhadap dirinya, itu sudah bercampur dengan haram. Hatinya tidak ridha menuju kepada Allah melainkan bathinnya menuju karena dunia itulah sum’ah, haram hukumnya sesudah melakukan amal kebajikan.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa sum’ah berarti amal ibadah yang telah dilakukan oleh seseorang dengan benar sesuai dengan hukum syara’ dan dengan niat yang ikhlas karena Allah, kemudian amal ibadah tersebut ditutur-tuturkan atau diperdengarkan kepada orang lain, agar orang lain memujinya dan menghormatinya. Perbuatan seperti itu hukumnya haram, karena ia telah mencampur adukan antara niat ikhlas karena Allah dan niat ingin mendapat penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Al-Ghazali yang artinya : “Janganlah kamu menampak-nampakkan sifat keutamaan ilmu dan ketaatan.”
Disini timbul pertanyaan: bagaimana jika seseorang menampakan sifat keutamaannya baik ilmunya yang luas, budi pekertinya yang luhur, ketaatannya dalam beribadah kepada Allah, maupun yang lainnya dengan tujuan agar orang lain mengikuti jejaknya atau agar orang lain mau melakukan perbuatan-perbuatan yang utama.
Dalam hal ini K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa sum’ah yang dilakukan dengan niat yang baik, yakni untuk memberi nasehat agar orang lain mau meninggalkan perbuatan yang tercela dan melaksanakan perbuatan yang terpuji atau untuk memberi contoh agar orang lain mau mengikuti jejaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang utama, maka sum’ah seperti ini diperbolehkan, bahkan pelakunya akan memperoleh pahala yang besar.
Hasil gambar untuk surah al dhuha ayat 11

Syaratnya jangan sampai terbetik di dalam hati untuk memperoleh penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ad-Dhuha ayat 11

Artinya :
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sum’ah tergantung dari niatnya. Jika sum’ah dengan niat demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk memamerkan keutamaan dan keistimewaan diri agar mendapat pujian dari manusia, maka sum’ah tersebut menjadi tercela.







BAB III
PENUTUP
2.1  Kesimpulan
Akhlak tercela adalah perangai, tabiat, watak yang tidak pantas atau bahkan semua sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah, karena akan mendatangkan kerugian baik bagi pelakunya ataupun orang lain.
Akhlak tercela merupakan perilaku yang sangat dibenci oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW karena perbuatan ini dapat merusak jasmani serta rohani dari orang yang melakukan perbutan-perbuatan tercela tersebut.
Berikut adalah berbagai jenis akhlak tercela yand ada diantaranya seperti Hub Al-Dunya , Itba’ Al-Hawa ,Thama’, Hasad ,Takabur ,Riya’,‘Ujub dan Sum’ah .
Semua perbuatan tersebut sangatlah dibenci Allah, Oleh karenanya kita harus menghindari perilaku tersebut dengan cara seperti: banyak bersyukur kepada Allah SWT, bersifaat qanaah, membiasakan hidup sederhana, membelanjakan harta dengan bijaksana,dll.














DAFTAR PUSTAKA



0 komentar:

Posting Komentar

 

My Writting Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review