Jumat, 12 Mei 2017

Madzhab Madzhab Dalam Fiqh

Diposting oleh Unknown di 20.02
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian madzhab
Menurut bahasa, mazhab berasal dari sighah masdar (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan pengertian mazhab menurut istilah ada beberapa rumusan, antara lain:
1.      Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al-Quran dan hadits.
2.      Menurut K.H.E. Abdurrahman, mazhab dalam  istilah islam berarti pendapat, paham atau aliranseorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam seperti Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ibn Hanbal, mazhab Imam syafi’i mazhab Imam Maliki, dan lain-lain.
3.      Menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
-      Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum atau peristiwa berdasarkan Al-quran dan Hadis.
-      Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Quran dan Hadis.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum islam. Selanjutnya imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti cara Istinbath Imam Mujtahid tertentuatau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah   hukum Islam.
Adapun pengertian mazhab menurut para ulama fiqih yang perlu kita ketahui. Menrut ulama fiqih mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalan oleh seorang ahli fiqih mujtahis, yang berbeda dengan ahli fiqih lain yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’. Masalah yang bisa menggunakan metode ijtihad adalah yang termasuk istilah dzonni atau prasangka bukan hal yang qoth’i atau pasti.

2.      Sejarah munculnya madzhab-madzhab dalam fiqh.
Manusia diberikan daya pikir, daya cipta, nalar dan daya mempergunakan ijtihad. Maka sesuai dengan tabiat dan naluri manusia itu sendiri, timbullah berbagai macam pendapat dalam menhadapai suatu masalah. Hal ini tidak mungkin dihilangkan atau dihindari karena naluri manusia menghendaki yang demikian. Itulah yang melatarbelakangi lahirnya mazhab-mazhab dalam dunia Islam. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa mazhab adalah hasil Ijtihad seorang Mujtahid, yang mana dari para Mujtahid itu terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam menetapkan sebuah hukum yang belum ada nashnya dalam Al-Quran dan Hadis.
Sejak kira-kira pertengahan abad pertama hijriyah sampai awal abad ke empat, tidak kurang dari 19 aliran hukum sudah tumbuh dalam Islam. Kenyataan ini saja cukuplah menunjukkan betapa ahli-ahli hukum kita dahulu tak putus-putusnya bekerja untuk disejalankan dengan kebutuhan-kebutuhan peradaban yang terus tumbuh.
Pada masa Tabi’-tabi’in yang dimulai pada awal abad kedua Hijriyah, kedudukan Ijtihad sebagai Istinbath hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncullah mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam. Adapun faktor yang menentukan perkembangan hukum Islam sesudah Rasulullah wafat, yaitu:
1.      Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah semenanjung Arab, Irak, mesir, Syam, Persi dan lain-lain.
2.      Pergaulan kaum muslimin dengan bangsa yang ditaklukannya. Mereka terpengaruh oleh budaya, adat istiadat serta tradis bangsa tersebut.
3.      Akibat jauhnya negara-negara yang ditaklukan itu dengan ibu kota Khalifah (pemerintahan) Islam, membuat gubernur, para hakim dan para ulama harus melakukanijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Dalam perkembangannya, mazhab-mazhab itu tidak sama. Ada yang mendapatkan sambutan dan memiliki pengikut yang mengembangkan dan meneruskannya, namun adakalanya suatu mazhab kalah pengaruhnya oleh mazhab-mazhab yang lain, dan pengikutnya menjadi surut. Oleh karenaya ada mazhab-mazhab yang masih eksis dan dianut oleh umat muslim sampai saat ini diantaranya : mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi.i, mazhab Hanbali, mazhab Syi’ah, dan mazhab Dhahiri[7]. Adapun mazhabyang telah punah antara lain: mazhab Al-Auza’iy, mazhab Al-Zhahiry, mazhab al-Thabary, dan mazhab al-Laits.
Dari perkambangan mazhab yang tetap eksis sampai sekarang memiliki dampak yang positif di kalangan umat Islam, yang mana umat Islam tidak bingung lagi dalam melakukan hal-hal yang belum ada nashnya dalam Alquran atau sunnah. Mereka sudah memiliki pegangan yang dapat dipercaya, sehingga tidak ada keraguan dalam menjalankan kehidupan ini. Disamping memiliki dampak yang positif, perkembangan mazhab tersebut juga memilik dampak negatif. Setelah munculnya mazhab-mazhab dalam hukum Islam dan hasil Ijtihad para Imam mazhab telah banyal dibukukan, ulama sesudahnya lebih cenderung untuk mencari dan menetapkan produk-produk ijtiadiyah para mujtahid sebelumnya, meskipun mungkin sebagian dari hasil ijtihad mereka sudah kurang atau tidak sesuai lagi dengan kondisi yang dihadai ketika itu. Lebih dari itu, sikap toleransi bermazhab pun semakin menipis di kalangan sesama pengikut-pengikut mazhab fiqih yang ada, bahkan acapkali timbul persaingan dan permusuhan sebagai akibat dari fanatisme mazhab yang berlebihan. Kemudian berkembang pandangan bahwa mujtahid hanya boleh melakukan penafsiran kembali terhadap hukum-hukum fiqih dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh imam-imam mazhab yang dianutnya. Hal ini mengakibatkan kemunduran fiqih Islam.
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode, yaitu :
1.      Periode risalah
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H/632 M). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah system kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepadaAllah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentanghukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2.      Periode al-Khulafaur Rasyidin
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash
Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H/634 M), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul ditengah masyarakat.
3.      Periode awal pertumbuahn fiqh
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H/644 M), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4.      Periode keemasan
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H/750 M - 656 H/1258 M) yang naik kepanggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al- Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayahdan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar -Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan seperti teorikias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5.      Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut. Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Darisini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
6.      Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalahal- Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegaspengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerjahasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilahat Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannyamaupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu.Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengantuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islamsebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalahal- Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqhMazhab Hanafi.

3.      Tokoh-Tokoh Madzhab Dan Pemikirannya
1.      MADZHAB HANAFI (IMAM ABU HANIFAH)
a.       Riwayat Singkat Imam Abu Hanifah (80 -150 H)
Imam Abu Hanifah bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, lahir di Kufah, Iraq pada tahun 80 H. Ia hidup pada dua masa kekhalifahan yaitu Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan Bani Abbasiah. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci, lurus) karena sesungguhnya sejak kecil ia berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan dosa dan keji.
Abu Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul-Afganistan), ia dinamai an-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia yang bernama Muhammad Nu’man ibn Marwan (khalifah dari Bani Umayyah yang ke V).  Abu hanifah termasuk salah seorang tabi’in, beliau bertemu dengan sahabat Anas bin Malik dan meriwayatkan hadits darinya.
Imam Abu Hanifah belajar ilmu fiqih dari Hammad bin Abu Sulaiman selama 18 tahun. Setelah gurunya wafat, maka penduduk Kufah menyerahkan persoalan fiqih dan masalah-masalah yang mereka hadapi kepada Abu Hanifah. Pada tahun 130 H beliau pergi ke Mekaah menetap untuk beberapa tahun, serta bertemu dengan murid Ibnu Abbas. Imam Abu Hanifaf meninggal pada tahun 150 H di Baghdad.
b.      Pemikiran Madzhab Imam Hanafi
Madzhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi serta fiqih dari Irak. Ia dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam madzhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi sebagai berikut :
“Fiqih Hanafi membekas kepada ahli Kufah yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah. Alasannya ialah kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadist mereka nilai sebagai hadist ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqih) di kalangan madzhab Hanafi adalah :
a)      Al-Qur’an
b)      Sunnah Nabi SAW
c)      Ijma’ sahabat
d)     Qiyas
e)      Istihsan
f)       ijma’ dan urf.
Berbagai pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya antara lain :
a.       Zhahir ar-Riwayah dan an-Nawadir  yang dibukukan oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani
b.      Al-Kafi yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi  (w. 344 H)
c.       Al-Mabsut (syarah al-Kafi dan dianggap sebagai kitab induk madzhab Hanafi ) yang dibukukan pada abad ke-5 oleh Imam as-Sarakhsi
d.      Al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, yang dilestarikan oleh Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar usul fiqh madzhab Hanafi
Madzhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah:
1.      Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memilih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
2.      Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.

2.      MADZHAB MALIKI (IMAM MALIK)
a.       Riwayat Singkat Imam Malik (93 – 179 H)
Imam Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas ibn Abi Amir Al-Asbahi. Ia lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M. Nama al-Asbahi, nisbah pada Asbah salah satu kabilah di Yaman tempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan ia tinggal di sana. Kakeknya tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan mengikuti perang bersamanya kecuali perang Badar.
Imam Malik belajar agama dari ulama-ulama Madinah, diantaranya adalah: Nafi’ maula Ibnu Umar, Ibnu Syahab az Zuhri, Rabi’ah dan lainnya. Kecintaannya terhadap ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Diantara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya Bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain. Imam Malik meninggal di Madinah tahun 179 H pada usia 86 tahun.
b.      Pemikiran Madzhab Imam Maliki
Imam Asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqih madzhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu :
1)      Al-Qur’an
2)      Sunnah Nabi SAW
3)      Amal penduduk Madinah
4)      Qiyas
Alasannya : menurut imam Maliki, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Menurut para ahli ushul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan madzhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas. Kitab yang disusun oleh imam Malik berjudul al-Muwaththa’.

3.      MADZHAB SYAFI’I (IMAM SYAFI’I)
a.       Riwayat Singkat Imam Syafi’I (150 – 203 H)
Imam Syafi’I bernama lengkap Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Ustman bin Syafi bin as-Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthalib bin ‘Abd Manaf. Ia lahir di Gaza (Palestina), pada tahun 150 H, berasal dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di ‘Abd Manaf (kakek ketiga Rasulullah SAW).
Kecerdasan Imam Syafi’I telah terlihat ketika berusia 7 tahun. Saat itu ia telah menghafal seluruh ayat al-Qur’an dengan lancar. Imam Syafi’I menekuni bahasa Arab di Dusun Badui Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan belajar fiqih kepad Imam Muslim bin Khalid Azzanni yang juga mufti kota Mekah pada saat itu.  Selanjutnya Beliau belajar kepada Imam malik di Madinah setelah beliau menghafal kitab Al Muwatho’ karangan Imam Malik. Kemudian beliau ke Irak bertemu dan menimba ilmu kepada murid Imam Abu Hanifah, yakni Muhammad bin Hasan. Di Irak inilah pendapat-pendapat beliau yang dikenal dengan Qaul Qodim. Selanjutnya beliau pindah ke Mesir pada tahin 198 H. Ketika pindah ke Mesir ini beliau menyusun pendapat yang baru yang dikenal dengan Qaul Jadid. Beliau meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Meskipun ia menguasai hampir seluruh disiplin ilmu tetapi Imam Syafi’I lebih dikenal sebagai ahli hadist dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Ia meninggal dunia setelah 6 tahun tinggal di Mesir dan mengembangkan madzhabnya dengan jalan lisan dan tulisan serta sudah mengarang kitab ar-Risalah (dalam ushul fiqh) dan beberapa kitab lainnya.
b.      Pemikiran Madzhab Imam Syafi’i
Keunggulan Imam Syafi’I sebagai ulama fiqih dan hadist pada zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup pada zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadist dan Ahlurra’yi, Imam Syafi’I berupaya untuk mendekatkan kedua aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada Imam Maliki sebagai tokoh Ahlulhadist dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Dalam penetapan hukum Islam, Imam Syafi’I menggunakan :
1)      Al-Qur’an
2)      Sunnah Rasulullah SAW
3)      Ijma’
4)      Qiyas
Imam Syafi’I menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbathkan hukum syara’. Penyebarluasan pemikiran madzhab Syafi’I diawali melalui kitab ushul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H/846 M) seorang ulama besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/878 M), dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).
 
4.      MADZHAB HAMBALI ( IMAM AHMAD BIN HANBALI)
a.       Riwayat Singkat Imam Hanbali (164 - 241 H)
Imam Hanbali bernama Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, lahir di Mirwa (Baghdad) pada tahun 164 H . Nasabnya bertemu dengan Nabi SAW pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh ibunya lantaran sang ayah meninggal dunia pada masa muda, pada usia 16 tahun, keinginannya yang besar membuatnya belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama yang ada di Baghdad.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadist tak diragukan lagi, putera sulungnya yakni, Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa Imam Hanbali telah hafal 700.000 hadist di luar kepala. Hadist sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 hadist berdasarkan susunan nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaiannya mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris hadist terkenal semisal Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ahmad bin Hanbal meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H.
b.      Pemikiran Madzhab Imam Hanbali
Imam Ahmad adalah seorang pakar hadist dan fiqih. Imam Syafi’i berkata, “Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Bin Hanbal,”
Di antara murid Imam Ahmad adalah putra-putra beliau yakni Shalih bin Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadist. Murid yang lain adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal , dan Abul Qasim. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Prinsip dasar Madzhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1)      An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’
2)      Fatwa Sahabat
Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW
3)      Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’
Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Madzhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad bin Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Madzhab Hanbali generasi berikutnya, madzhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Madzhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Madzhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Madzhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Madzhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Madzhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Madzhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Madzhab Hanbali menjadi madzhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
Berdasarkan riwayat di atas dapat dilihat bahwa imam madzhab yang pertama (Imam Abu Hanifah) berjarak 69 tahun  dari wafat Nabi SAW yakni tahun 11 H, Imam Malik hidup sezaman dengan Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, tetapi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak sezaman dengan Imam Abu Hanifah.

4.      Corak Pemikiran Para Madzhab
1.      Madzhab Hanafi.
Corak madzhabnya: dikenal sebagai ahli ra’yi, karena mahir dalam menggunakan qiyas (analogi).
2.      Madzhab Maliki.
Corak madzhabnya: madzhab hadits, karena Madinah memang menjadi pusat peredaran hadits, keluarga beliau juga terkenal sebagai perowi hadits, sehingga madzhabnya bercorak sebagai madzhab hadits.
3.      Madzhab Syafi’i
Corak madzhabnya: penggabungan antara fiqh Hanafi (ahlu ra’yi) dengan fiqh maliki (ahlu hadits).
4.      Madzhab Hambali
Corak madzhabnya: madzhab hadits, beliau juga menolak adanya ijma’ (konsesus) setelah berlalunya zaman sahabat. Dalam menggunakan qiyas (analogi) beliau sangat hati-hati dan hanya menerima qiyas yang manshush’ala’illatihi (argument yang sebabnya disebut dalam ayat atau hadits).
5.      Perbedaan Pendapat Imam Madzhab
Perbedaan pendapat di antara imam Madzhab dalam satu masalah fiqh sangat banyak, berikut ini diberikan beberapa contoh perbedaan tersebut:
a.       Mengusap kepala dalam wudlu
·         Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat satu kal
·         Imam Syafi’i berpendapat tiga kali
b.      Menyentuh Kemaluan setelah wudlu
·         Imam Abu Hanifah berpendapat tidak membatalkan wudlu secara mutlak.
·         Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat membatalkan wudlu secara mutlak.
·         Imam Ahmad berpendapat tidak wajib wudlu hanya disunahkan
c.       Menyentuh wanita tanpa pembatas
·         Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu secara mutlak.
·         Imam Abu Hanifah berpendapat tidak batal wudlu secara mutlak.
·         Imam Malik dan Ahmad berpendapat batal wudlu jika diiringi syahwat.
d.      Duduk dalam sholat
·         Imam Abu Hanifah: duduk iftirosy baik untuk tasyahud awal maupun tasyahud akhir
·         Imam Malik : duduk tawaruk baik untuk tasyahud awal maupun tasyahun akhir.
·         Imam Syafi’i: duduk iftirosy untuk tasyahud awal dan duduk tawaruk untuk tasyahud akhir.
·         Imam Ahmad: duduk iftirosy untuk shalat yang 2 rekaat, dan seperti madzhab Syafi’i untuk sholat yang 3 atau 4 rekaat.
e.       Sholat jamaah bagi laki-laki
·         Imam Ahmad berpendapat fardlu ‘ain kecuali bila ada udzur
·         Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan Malik berpendapat tidak fardlu ‘ain.
f.       Tentang Katak
·         Imam Malik mengatakan boleh dimakan.
·         Imam Ahmad mengatakan tidak boleh dimakan
g.      Tentang Kuda
·         Imam Syafi’i dan Ahmad mengatakan kuda itu halal.
·         Imam Malik mengatakan kuda itu makruh.
·         Imam Abu Hanifah mengatakan kuda itu haram.
Dan masih banyak lagi perbedahan perbedaan pendapat diantara imam madzhab dalam masalah fiqh. Perbedaan pendapat diantara imam madzhab tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1.      Adakalanya seorang Imam tidak mendapatkan sesuatu hadits tentang suatu masalah, maka beliau menggunakan qiyas atau fikiran, sedangkan imam yang lain mendapatkan hadits dalam masalah tersebut.
2.      Adakalanya seorang Imam mengeluarkan pendapatmya dari suatu hadits atau riwayat yang dianggapnya shahih, padahal bagi yang lain hadits itu dianggap tidak shahih.
3.      Ada juga para imam itu tidak mendapatkan suatu hadits untuk suatu masalah sehingga masing-masing menggunakan qiyas atau fikiran, sedang dikemudian hari orang mendapatkan hadits itu.
4.      Pemikiran para imam dalam menimbang suatu masalah berbeda, sehingga keputusannyapun berbeda.

















BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Menurut bahasa, mazhab berasal dari sighah masdar (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum islam.

MAZHAB
PENDIRI
PEMIKIRAN
PENYEBARAN
HANAFI
Abu Hanifah an-Nu'man bin Sabit bin Zauta at-Taimi al-Kufi.
(Kufah, 80 H/699 M-150 H/797 M)
Corak pemikiran hukum :
rasional
Dasar pemikiran hukum :
1. Al-Qur'an
2. Sunah
3. Pendapat sahabat
4. Kias
5. Istihsan
6. Ijmak
7. 'Urf
- Afghanistan
- Cina
- India
- Irak
- Libanon
- Mesir
- Pakistan
- Rusia
- Suriah
- Tunisia
- Turkestan
- Turki
- Wilayah Balkan
MALIKI
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Asbahi, terkenal dengan sebutan Imam Dar al-Hijrah.
(Madinah, 93 H/712 M- 179 H/798 M)
Corak pemikiran hukum :
dipengaruhi sunah yang cenderung tekstual
Dasar pemikiran hukum :
1. Al-Qur'an
2. Sunah
3. Ijmak sahabat
4. Kias
5. Maslahah mursalah
6. 'Amal ahl al-Madinah
7. Pendapat sahabat
- Kuwait
- Spanyol
- Arab Saudi, khususnya Mekah
- Wilayah Afrika, khususnya Mesir, Tunisia, Aljazair dan Maroko
SYAFI'I
Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin As bin Usman bin Syafi asy-Syafi'I al Muthalibi.
(Gaza, Palestina, 150 H/767 M-Cairo, Mesir, 204 H/20 Januari 820 M)
Corak pemikiran hukum :
antara tradisional dan rasional
Dasar pemikiran hukum :
1. Al-Qur'an
2. Sunah
3. Ijmak
4. Kias
- Bahrein
- India
- Indonesia
- Kazakhstan
- Malaysia
- Suriah
- Turkmenistan
- Yaman
- Arab Saudi khususnya Madinah
- Wilayah Arab Selatan
- Wilayah Afrika Timur
- Wilayah Asia Timur
- Wilayah Asia Tengah
HAMBALI
Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani al-Marwazi.
(Baghdad, Rabiulakhir 164 H/780 M- Rabiulawal 241 H/855 M)
Corak pemikiran hukum :
Tradisional (fundamental)
Dasar pemikiran hukum :
1. Al-Qur'an secara zahir dan sunah
2. Fatwa sahabat
3. Jika ada perbedaan fatwa sahabat, digunakan yang lebih dekat dengan Al-Quran
4. Hadis mursal dan daif
5. Kias
- Arab Saudi (mayoritas)



Daftar Pustaka



0 komentar:

Posting Komentar

 

My Writting Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review