BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
madzhab
Menurut
bahasa, mazhab berasal dari sighah masdar (kata sifat) dan isim makan (kata
yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” yang berarti
“pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan pengertian
mazhab menurut istilah ada beberapa rumusan, antara lain:
1. Menurut
Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang
ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al-Quran
dan hadits.
2. Menurut
K.H.E. Abdurrahman, mazhab dalam istilah
islam berarti pendapat, paham atau aliranseorang alim besar dalam Islam yang
digelari Imam seperti Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ibn Hanbal, mazhab Imam
syafi’i mazhab Imam Maliki, dan lain-lain.
3. Menurut
A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim
besar dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
- Mazhab
adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam
menetapkan hukum atau peristiwa berdasarkan Al-quran dan Hadis.
- Mazhab
adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa
yang diambil dari Al-Quran dan Hadis.
Jadi
mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum islam. Selanjutnya imam mazhab
dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang
mengikuti cara Istinbath Imam Mujtahid tertentuatau mengikuti pendapat Imam
Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Adapun
pengertian mazhab menurut para ulama fiqih yang perlu kita ketahui. Menrut
ulama fiqih mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalan oleh
seorang ahli fiqih mujtahis, yang berbeda dengan ahli fiqih lain yang
menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’. Masalah yang
bisa menggunakan metode ijtihad adalah yang termasuk istilah dzonni atau
prasangka bukan hal yang qoth’i atau pasti.
2. Sejarah
munculnya madzhab-madzhab dalam fiqh.
Manusia
diberikan daya pikir, daya cipta, nalar dan daya mempergunakan ijtihad. Maka
sesuai dengan tabiat dan naluri manusia itu sendiri, timbullah berbagai macam
pendapat dalam menhadapai suatu masalah. Hal ini tidak mungkin dihilangkan atau
dihindari karena naluri manusia menghendaki yang demikian. Itulah yang melatarbelakangi
lahirnya mazhab-mazhab dalam dunia Islam. Seperti yang dijelaskan sebelumnya
bahwa mazhab adalah hasil Ijtihad seorang Mujtahid, yang mana dari para
Mujtahid itu terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam menetapkan sebuah
hukum yang belum ada nashnya dalam Al-Quran dan Hadis.
Sejak
kira-kira pertengahan abad pertama hijriyah sampai awal abad ke empat, tidak
kurang dari 19 aliran hukum sudah tumbuh dalam Islam. Kenyataan ini saja
cukuplah menunjukkan betapa ahli-ahli hukum kita dahulu tak putus-putusnya
bekerja untuk disejalankan dengan kebutuhan-kebutuhan peradaban yang terus
tumbuh.
Pada
masa Tabi’-tabi’in yang dimulai pada awal abad kedua Hijriyah, kedudukan
Ijtihad sebagai Istinbath hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah
masa itu muncullah mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam. Adapun faktor yang
menentukan perkembangan hukum Islam sesudah Rasulullah wafat, yaitu:
1. Semakin
luasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah semenanjung Arab,
Irak, mesir, Syam, Persi dan lain-lain.
2. Pergaulan
kaum muslimin dengan bangsa yang ditaklukannya. Mereka terpengaruh oleh budaya,
adat istiadat serta tradis bangsa tersebut.
3. Akibat
jauhnya negara-negara yang ditaklukan itu dengan ibu kota Khalifah
(pemerintahan) Islam, membuat gubernur, para hakim dan para ulama harus
melakukanijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah
baru yang dihadapi.
Dalam
perkembangannya, mazhab-mazhab itu tidak sama. Ada yang mendapatkan sambutan
dan memiliki pengikut yang mengembangkan dan meneruskannya, namun adakalanya
suatu mazhab kalah pengaruhnya oleh mazhab-mazhab yang lain, dan pengikutnya
menjadi surut. Oleh karenaya ada mazhab-mazhab yang masih eksis dan dianut oleh
umat muslim sampai saat ini diantaranya : mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab
Syafi.i, mazhab Hanbali, mazhab Syi’ah, dan mazhab Dhahiri[7]. Adapun
mazhabyang telah punah antara lain: mazhab Al-Auza’iy, mazhab Al-Zhahiry,
mazhab al-Thabary, dan mazhab al-Laits.
Dari
perkambangan mazhab yang tetap eksis sampai sekarang memiliki dampak yang positif
di kalangan umat Islam, yang mana umat Islam tidak bingung lagi dalam melakukan
hal-hal yang belum ada nashnya dalam Alquran atau sunnah. Mereka sudah memiliki
pegangan yang dapat dipercaya, sehingga tidak ada keraguan dalam menjalankan
kehidupan ini. Disamping memiliki dampak yang positif, perkembangan mazhab
tersebut juga memilik dampak negatif. Setelah munculnya mazhab-mazhab dalam
hukum Islam dan hasil Ijtihad para Imam mazhab telah banyal dibukukan, ulama
sesudahnya lebih cenderung untuk mencari dan menetapkan produk-produk
ijtiadiyah para mujtahid sebelumnya, meskipun mungkin sebagian dari hasil
ijtihad mereka sudah kurang atau tidak sesuai lagi dengan kondisi yang dihadai
ketika itu. Lebih dari itu, sikap toleransi bermazhab pun semakin menipis di
kalangan sesama pengikut-pengikut mazhab fiqih yang ada, bahkan acapkali timbul
persaingan dan permusuhan sebagai akibat dari fanatisme mazhab yang berlebihan.
Kemudian berkembang pandangan bahwa mujtahid hanya boleh melakukan penafsiran
kembali terhadap hukum-hukum fiqih dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh
imam-imam mazhab yang dianutnya. Hal ini mengakibatkan kemunduran fiqih Islam.
Muhammad Khudari Beik
(ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode, yaitu :
1. Periode
risalah
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW
sampai wafatnya Nabi SAW (11 H/632 M). Pada periode ini kekuasaan penentuan
hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu
adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode
Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak
tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak
banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah
untuk mengubah system kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan
kepadaAllah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentanghukum turun
secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT,
baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode
al-Khulafaur Rasyidin
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW
sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun
41H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi
SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini
dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara
jelas dalam nash
Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab
menjadi khalifah (13 H/634 M), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul ditengah masyarakat.
3. Periode
awal pertumbuahn fiqh
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai
awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh
sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat
ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman
bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H/644 M), munculnya berbagai fatwa dan
ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode
keemasan
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada
pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode ini termasuk dalam periode Kemajuan
Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol
pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga
berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran
ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H/750 M - 656 H/1258 M) yang
naik kepanggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan
yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang
ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha
untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan
sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh
misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809)
meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya
penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun
pada periode ini adalah al- Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam
asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayahdan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab
usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar -Risalah oleh Imam
asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan seperti
teorikias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode
tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai
pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah
upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas
dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya
semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil
ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga
mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh
yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka
anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab
(mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya).
Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara
mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap
satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode
ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan
tersebut. Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan
perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui
khalifah saja.
Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada
sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa
analisis) di kalangan murid imam mazhab.
Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab
yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu
sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti.
Darisini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang
benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
6. Periode
kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai
munculnya Majalahal- Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani)
pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan
dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode
ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara
membabi buta.Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap
kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan
yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar
(terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan
mempertegaspengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan
tujuan ilmiah dari kerjahasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa
menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode
ini.
Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga
banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi
fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Muncul beberapa produk fiqh sesuai
dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilahat Taqaddum
(kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam
menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan
penerapannyamaupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu.Sekalipun
ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengantuntutan kemaslahatan zaman,
muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam
masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa
melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk
transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan
tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan
transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya,
seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah
sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya
yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi
as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni
[1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki
Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum
(fiqh) Islamsebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak
pemerintah Turki Usmani, seperti Majalahal- Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan
kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani
berdasarkan fiqhMazhab Hanafi.
3. Tokoh-Tokoh
Madzhab Dan Pemikirannya
1. MADZHAB
HANAFI (IMAM ABU HANIFAH)
a. Riwayat
Singkat Imam Abu Hanifah (80 -150 H)
Imam
Abu Hanifah bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, lahir di Kufah,
Iraq pada tahun 80 H. Ia hidup pada dua masa kekhalifahan yaitu Bani Umayyah
Abdul Malik bin Marwan dan Bani Abbasiah. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci,
lurus) karena sesungguhnya sejak kecil ia berakhlak mulia, dan menjauhi
perbuatan dosa dan keji.
Abu
Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul-Afganistan), ia dinamai
an-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia yang
bernama Muhammad Nu’man ibn Marwan (khalifah dari Bani Umayyah yang ke V). Abu hanifah termasuk salah seorang tabi’in,
beliau bertemu dengan sahabat Anas bin Malik dan meriwayatkan hadits darinya.
Imam
Abu Hanifah belajar ilmu fiqih dari Hammad bin Abu Sulaiman selama 18 tahun.
Setelah gurunya wafat, maka penduduk Kufah menyerahkan persoalan fiqih dan
masalah-masalah yang mereka hadapi kepada Abu Hanifah. Pada tahun 130 H beliau
pergi ke Mekaah menetap untuk beberapa tahun, serta bertemu dengan murid Ibnu
Abbas. Imam Abu Hanifaf meninggal pada tahun 150 H di Baghdad.
b. Pemikiran
Madzhab Imam Hanafi
Madzhab
Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi serta fiqih dari Irak. Ia dikenal banyak
menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, yang
tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam madzhab ini meninggalkan kaidah
qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan
karakteristik manhaj Hanafi sebagai berikut :
“Fiqih
Hanafi membekas kepada ahli Kufah yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan
istihsan. Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan;
yakni apabila tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila
qiyasnya buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke
istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan
kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini
oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah. Alasannya
ialah kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus
tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadist mereka nilai
sebagai hadist ahad.
Yang
menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqih) di kalangan madzhab Hanafi
adalah :
a) Al-Qur’an
b) Sunnah
Nabi SAW
c) Ijma’
sahabat
d) Qiyas
e) Istihsan
f) ijma’
dan urf.
Berbagai
pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya antara lain :
a. Zhahir
ar-Riwayah dan an-Nawadir yang dibukukan
oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani
b. Al-Kafi
yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi (w. 344 H)
c. Al-Mabsut
(syarah al-Kafi dan dianggap sebagai kitab induk madzhab Hanafi ) yang
dibukukan pada abad ke-5 oleh Imam as-Sarakhsi
d. Al-Kharaj,
Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, yang dilestarikan oleh Imam Abu Yusuf
yang dikenal sebagai peletak dasar usul fiqh madzhab Hanafi
Madzhab
Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal dalam masalah
pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat
dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah:
1. Karena
beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak
terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memilih untuk
tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak
formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil
nash syar’i.
2. Kurang
tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau
tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang
beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun
pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam
Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
2. MADZHAB
MALIKI (IMAM MALIK)
a. Riwayat
Singkat Imam Malik (93 – 179 H)
Imam
Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas ibn Abi Amir Al-Asbahi. Ia
lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M. Nama al-Asbahi, nisbah pada Asbah
salah satu kabilah di Yaman tempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan ia
tinggal di sana. Kakeknya tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan
mengikuti perang bersamanya kecuali perang Badar.
Imam
Malik belajar agama dari ulama-ulama Madinah, diantaranya adalah: Nafi’ maula
Ibnu Umar, Ibnu Syahab az Zuhri, Rabi’ah dan lainnya. Kecintaannya terhadap
ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan.
Diantara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb,
Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya
al Andalusi, Yahya Bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats
Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi,
dan lain-lain. Imam Malik meninggal di Madinah tahun 179 H pada usia 86 tahun.
b. Pemikiran
Madzhab Imam Maliki
Imam Asy-Syatibi
menyederhanakan dasar fiqih madzhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu :
1) Al-Qur’an
2) Sunnah
Nabi SAW
3) Amal
penduduk Madinah
4) Qiyas
Alasannya : menurut imam
Maliki, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya merupakan bagian
dari sunnah Nabi SAW. Menurut para ahli ushul fiqh, qiyas jarang sekali
digunakan madzhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk
Madinah daripada qiyas. Kitab yang disusun oleh imam Malik berjudul al-Muwaththa’.
3. MADZHAB
SYAFI’I (IMAM SYAFI’I)
a. Riwayat
Singkat Imam Syafi’I (150 – 203 H)
Imam
Syafi’I bernama lengkap Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Ustman bin Syafi
bin as-Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthalib bin ‘Abd
Manaf. Ia lahir di Gaza (Palestina), pada tahun 150 H, berasal dari keturunan
bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari ayahnya, garis
keturunannya bertemu di ‘Abd Manaf (kakek ketiga Rasulullah SAW).
Kecerdasan
Imam Syafi’I telah terlihat ketika berusia 7 tahun. Saat itu ia telah menghafal
seluruh ayat al-Qur’an dengan lancar. Imam Syafi’I menekuni bahasa Arab di
Dusun Badui Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan
belajar fiqih kepad Imam Muslim bin Khalid Azzanni yang juga mufti kota Mekah
pada saat itu. Selanjutnya Beliau
belajar kepada Imam malik di Madinah setelah beliau menghafal kitab Al Muwatho’
karangan Imam Malik. Kemudian beliau ke Irak bertemu dan menimba ilmu kepada
murid Imam Abu Hanifah, yakni Muhammad bin Hasan. Di Irak inilah
pendapat-pendapat beliau yang dikenal dengan Qaul Qodim. Selanjutnya beliau
pindah ke Mesir pada tahin 198 H. Ketika pindah ke Mesir ini beliau menyusun
pendapat yang baru yang dikenal dengan Qaul Jadid. Beliau meninggal di Mesir
pada tahun 204 H.
Meskipun
ia menguasai hampir seluruh disiplin ilmu tetapi Imam Syafi’I lebih dikenal
sebagai ahli hadist dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang
ilmu tersebut. Ia meninggal dunia setelah 6 tahun tinggal di Mesir dan
mengembangkan madzhabnya dengan jalan lisan dan tulisan serta sudah mengarang
kitab ar-Risalah (dalam ushul fiqh) dan beberapa kitab lainnya.
b. Pemikiran
Madzhab Imam Syafi’i
Keunggulan
Imam Syafi’I sebagai ulama fiqih dan hadist pada zamannya diakui sendiri oleh
ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup pada zaman meruncingnya pertentangan
antara aliran Ahlulhadist dan Ahlurra’yi, Imam Syafi’I berupaya untuk
mendekatkan kedua aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada Imam Maliki
sebagai tokoh Ahlulhadist dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai
tokoh Ahlurra’yi.
Dalam penetapan hukum
Islam, Imam Syafi’I menggunakan :
1) Al-Qur’an
2) Sunnah
Rasulullah SAW
3) Ijma’
4) Qiyas
Imam
Syafi’I menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbathkan hukum syara’.
Penyebarluasan pemikiran madzhab Syafi’I diawali melalui kitab ushul fiqhnya
ar-Risalah dan kitab fiqihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan dikembangkan
oleh para muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H/846 M) seorang
ulama besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/878 M), dan
ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).
4. MADZHAB
HAMBALI ( IMAM AHMAD BIN HANBALI)
a. Riwayat
Singkat Imam Hanbali (164 - 241 H)
Imam
Hanbali bernama Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, lahir di Mirwa
(Baghdad) pada tahun 164 H . Nasabnya bertemu dengan Nabi SAW pada Nizar bin
Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh ibunya lantaran sang ayah meninggal dunia
pada masa muda, pada usia 16 tahun, keinginannya yang besar membuatnya belajar
al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama yang ada di Baghdad.
Kepandaian
Imam Hanbali dalam ilmu hadist tak diragukan lagi, putera sulungnya yakni,
Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa Imam Hanbali telah hafal 700.000 hadist di
luar kepala. Hadist sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis
kembali dalam kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 hadist berdasarkan susunan
nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaiannya mengundang banyak
tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris
hadist terkenal semisal Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ahmad bin Hanbal
meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H.
b. Pemikiran
Madzhab Imam Hanbali
Imam
Ahmad adalah seorang pakar hadist dan fiqih. Imam Syafi’i berkata, “Saya keluar
dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa
dan paling faqih melebihi Bin Hanbal,”
Di
antara murid Imam Ahmad adalah putra-putra beliau yakni Shalih bin Ahmad bin
Hanbal dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh
dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadist. Murid yang lain adalah Al-Atsram
dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul
Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal , dan Abul Qasim. Salah satu kitab fiqh
madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Prinsip dasar Madzhab Hanbali
adalah sebagai berikut:
1) An-Nusus
(jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’
2) Fatwa
Sahabat
Jika terdapat perbedaan
pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih
pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW
3) Hadits
mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan
ijma’
Apabila dalam keempat
dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam
Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Madzhab
Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad bin Hanbal. Kemudian
dalam perkembangan Madzhab Hanbali generasi berikutnya, madzhab ini juga
menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah
sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para
pengembang Madzhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal)
diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani
al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275
H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali
al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Madzhab
Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun
buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Madzhab Hanbali di atas.
Tokoh
lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Madzhab Hanbali
adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini
tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka
dikenal sebagai pengembang dan pembaru Madzhab Hanbali. Disamping itu, jasa
Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Madzhab Hanbali
juga sangat besar. Pada zamannya, Madzhab Hanbali menjadi madzhab resmi
Kerajaan Arab Saudi.
Berdasarkan riwayat di
atas dapat dilihat bahwa imam madzhab yang pertama (Imam Abu Hanifah) berjarak
69 tahun dari wafat Nabi SAW yakni tahun
11 H, Imam Malik hidup sezaman dengan Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, tetapi Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad tidak sezaman dengan Imam Abu Hanifah.
4. Corak
Pemikiran Para Madzhab
1. Madzhab
Hanafi.
Corak
madzhabnya: dikenal sebagai ahli ra’yi, karena mahir dalam menggunakan qiyas
(analogi).
2. Madzhab
Maliki.
Corak
madzhabnya: madzhab hadits, karena Madinah memang menjadi pusat peredaran
hadits, keluarga beliau juga terkenal sebagai perowi hadits, sehingga
madzhabnya bercorak sebagai madzhab hadits.
3. Madzhab
Syafi’i
Corak
madzhabnya: penggabungan antara fiqh Hanafi (ahlu ra’yi) dengan fiqh maliki
(ahlu hadits).
4. Madzhab
Hambali
Corak
madzhabnya: madzhab hadits, beliau juga menolak adanya ijma’ (konsesus) setelah
berlalunya zaman sahabat. Dalam menggunakan qiyas (analogi) beliau sangat
hati-hati dan hanya menerima qiyas yang manshush’ala’illatihi (argument yang
sebabnya disebut dalam ayat atau hadits).
5. Perbedaan
Pendapat Imam Madzhab
Perbedaan pendapat di
antara imam Madzhab dalam satu masalah fiqh sangat banyak, berikut ini
diberikan beberapa contoh perbedaan tersebut:
a. Mengusap
kepala dalam wudlu
·
Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad
berpendapat satu kal
·
Imam Syafi’i berpendapat tiga kali
b. Menyentuh
Kemaluan setelah wudlu
·
Imam Abu Hanifah berpendapat tidak
membatalkan wudlu secara mutlak.
·
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat
membatalkan wudlu secara mutlak.
·
Imam Ahmad berpendapat tidak wajib wudlu
hanya disunahkan
c. Menyentuh
wanita tanpa pembatas
·
Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu
secara mutlak.
·
Imam Abu Hanifah berpendapat tidak batal
wudlu secara mutlak.
·
Imam Malik dan Ahmad berpendapat batal
wudlu jika diiringi syahwat.
d. Duduk
dalam sholat
·
Imam Abu Hanifah: duduk iftirosy baik
untuk tasyahud awal maupun tasyahud akhir
·
Imam Malik : duduk tawaruk baik untuk
tasyahud awal maupun tasyahun akhir.
·
Imam Syafi’i: duduk iftirosy untuk
tasyahud awal dan duduk tawaruk untuk tasyahud akhir.
·
Imam Ahmad: duduk iftirosy untuk shalat
yang 2 rekaat, dan seperti madzhab Syafi’i untuk sholat yang 3 atau 4 rekaat.
e. Sholat
jamaah bagi laki-laki
·
Imam Ahmad berpendapat fardlu ‘ain kecuali
bila ada udzur
·
Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan Malik
berpendapat tidak fardlu ‘ain.
f. Tentang
Katak
·
Imam Malik mengatakan boleh dimakan.
·
Imam Ahmad mengatakan tidak boleh dimakan
g. Tentang
Kuda
·
Imam Syafi’i dan Ahmad mengatakan kuda itu
halal.
·
Imam Malik mengatakan kuda itu makruh.
·
Imam Abu Hanifah mengatakan kuda itu
haram.
Dan masih banyak lagi
perbedahan perbedaan pendapat diantara imam madzhab dalam masalah fiqh.
Perbedaan pendapat diantara imam madzhab tersebut dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain:
1. Adakalanya
seorang Imam tidak mendapatkan sesuatu hadits tentang suatu masalah, maka
beliau menggunakan qiyas atau fikiran, sedangkan imam yang lain mendapatkan
hadits dalam masalah tersebut.
2. Adakalanya
seorang Imam mengeluarkan pendapatmya dari suatu hadits atau riwayat yang
dianggapnya shahih, padahal bagi yang lain hadits itu dianggap tidak shahih.
3. Ada
juga para imam itu tidak mendapatkan suatu hadits untuk suatu masalah sehingga
masing-masing menggunakan qiyas atau fikiran, sedang dikemudian hari orang
mendapatkan hadits itu.
4. Pemikiran
para imam dalam menimbang suatu masalah berbeda, sehingga keputusannyapun
berbeda.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Menurut
bahasa, mazhab berasal dari sighah masdar (kata sifat) dan isim makan (kata
yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” yang berarti
“pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Mazhab
adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum islam.
MAZHAB
|
PENDIRI
|
PEMIKIRAN
|
PENYEBARAN
|
HANAFI
|
Abu Hanifah an-Nu'man bin Sabit bin Zauta at-Taimi al-Kufi.
(Kufah, 80 H/699 M-150 H/797 M) |
Corak pemikiran hukum :
rasional Dasar pemikiran hukum : 1. Al-Qur'an 2. Sunah 3. Pendapat sahabat 4. Kias 5. Istihsan 6. Ijmak 7. 'Urf |
- Afghanistan
- Cina - India - Irak - Libanon - Mesir - Pakistan - Rusia - Suriah - Tunisia - Turkestan - Turki - Wilayah Balkan |
MALIKI
|
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Asbahi, terkenal
dengan sebutan Imam Dar al-Hijrah.
(Madinah, 93 H/712 M- 179 H/798 M) |
Corak pemikiran hukum :
dipengaruhi sunah yang cenderung tekstual Dasar pemikiran hukum : 1. Al-Qur'an 2. Sunah 3. Ijmak sahabat 4. Kias 5. Maslahah mursalah 6. 'Amal ahl al-Madinah 7. Pendapat sahabat |
- Kuwait
- Spanyol - Arab Saudi, khususnya Mekah - Wilayah Afrika, khususnya Mesir, Tunisia, Aljazair dan Maroko |
SYAFI'I
|
Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin As bin Usman bin Syafi
asy-Syafi'I al Muthalibi.
(Gaza, Palestina, 150 H/767 M-Cairo, Mesir, 204 H/20 Januari 820 M) |
Corak pemikiran hukum :
antara tradisional dan rasional Dasar pemikiran hukum : 1. Al-Qur'an 2. Sunah 3. Ijmak 4. Kias |
- Bahrein
- India - Indonesia - Kazakhstan - Malaysia - Suriah - Turkmenistan - Yaman - Arab Saudi khususnya Madinah - Wilayah Arab Selatan - Wilayah Afrika Timur - Wilayah Asia Timur - Wilayah Asia Tengah |
HAMBALI
|
Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani al-Marwazi.
(Baghdad, Rabiulakhir 164 H/780 M- Rabiulawal 241 H/855 M) |
Corak pemikiran hukum :
Tradisional (fundamental) Dasar pemikiran hukum : 1. Al-Qur'an secara zahir dan sunah 2. Fatwa sahabat 3. Jika ada perbedaan fatwa sahabat, digunakan yang lebih dekat dengan Al-Quran 4. Hadis mursal dan daif 5. Kias |
- Arab Saudi (mayoritas)
|
Daftar
Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar